Kalimat Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) memiliki kedudukan sentral dalam disiplin Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an). Pembahasannya melampaui fikih sehari-hari dan menyentuh aspek fundamental Kitabullah, termasuk kedudukannya sebagai ayat, hitungan ayat (al-Fawāṣil), dan kaidah pembacaannya (Qira’at dan Tajwid). Perbedaan pandangan ulama mengenai Basmalah di awal surah adalah salah satu topik klasik yang paling terkenal.
- Kedudukan Basmalah sebagai Ayat Al-Qur’an
Semua ulama sepakat bahwa Basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an karena ia tercantum secara eksplisit di Surah An-Naml ayat 30. Namun, perselisihan timbul mengenai 113 Basmalah yang berada di awal surah-surah Al-Qur’an (kecuali At-Taubah). Yaitu :
- Mazhab Syafi’i: Basmalah Adalah Ayat
Pandangan ini dianut oleh Imam Syafi’i dan para ulama Kufah serta Makkah. Mereka berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat pertama dari Surah Al-Fatihah dan merupakan ayat yang memisahkan antara surah-surah lainnya.
- Implikasi Hukum: Dalam shalat, membaca Basmalah menjadi wajib (rukun) karena ia adalah bagian integral dari Surah Al-Fatihah. Mushaf Al-Qur’an di Indonesia yang mengikuti hitungan ulama Kufah mencantumkan Basmalah sebagai ayat nomor 1 pada Al-Fatihah.
- Mazhab Maliki: Hanya untuk Keberkahan
Imam Malik dan ulama Madinah berpandangan bahwa Basmalah bukanlah bagian dari Surah Al-Fatihah maupun surah-surah yang lain. Basmalah ditulis di awal surah hanya sebagai tanda pemisah dan untuk mengambil berkah (tabarruk).
- Implikasi Hukum: Dalam shalat, sebagian Mazhab Maliki menilai Basmalah hanya sunah dibaca, bahkan sebagian menganggap makruh jika dibaca secara keras (jahr) saat shalat berjamaah.
- Mazhab Hanafi: Ayat Pemisah Independen
Imam Abu Hanifah mengambil jalan tengah. Basmalah memang bukan bagian dari Al-Fatihah atau surah lainnya, tetapi ia adalah satu ayat utuh yang diturunkan Allah untuk dijadikan pemisah antar surah.
- Implikasi Hukum: Dalam shalat, membaca Basmalah di awal Fatihah dihukumi sunah, namun dianjurkan dibaca secara lirih (sirr).
- Hukum Membaca Basmalah dalam Kaidah Qira’at dan Tajwid
Dalam ilmu pembacaan Al-Qur’an, hukum Basmalah diatur berdasarkan posisi pembacaan:
- Hukum Memulai Bacaan (Ibtidā’)
Memulai dari Awal Surah (Kecuali At-Taubah):
Hukumnya adalah Sunah Muakkadah (sangat dianjurkan) setelah membaca Ta’awwudz (A’ūżu billāhi minasy-syaiṭānir-rajīm).
- Memulai dari Tengah Surah:
Hukumnya Mubah (boleh), yaitu pembaca dapat memilih untuk membaca Basmalah atau hanya cukup dengan Ta’awwudz. Namun, dianjurkan untuk dibaca jika memulai dari ayat yang memiliki makna baik, dan dihindari (atau dibaca lirih) jika memulai dari ayat yang maknanya mengandung kekafiran, setan, atau api neraka.
- Hukum Khusus Surah At-Taubah (Bara’ah)
Para ulama sepakat Basmalah tidak dibaca di awal Surah At-Taubah.
Alasan: Surah ini berisi pengumuman perang dan pemutusan perjanjian dari Allah SWT, sehingga tidak sesuai diawali dengan kata-kata rahmat (ar-Raḥmān ar-Raḥīm).
- Hukum Menyambung Dua Surah (al-Waṣl)
Ketika seorang pembaca selesai satu surah dan hendak melanjutkan ke surah berikutnya (selain Surah At-Taubah), terdapat tiga cara yang diperbolehkan (Jawazul Auwāji):
a. Potong Semua (Qat’ul Jami’): Berhenti di akhir surah pertama, berhenti, membaca Basmalah, berhenti, lalu memulai surah kedua. (Cara ini yang paling utama).
b. Sambung Semua (Waṣlul Jami’): Menyambung akhir surah pertama, Basmalah, dan awal surah kedua dalam satu tarikan napas.
c. Potong Basmalah (Qat’ul Basmalah): Berhenti di akhir surah pertama, Basmalah disambung dengan awal surah kedua.
d. Larangan: Tidak diperbolehkan menyambung akhir surah pertama dengan Basmalah lalu berhenti (karena Basmalah akan terkesan sebagai bagian dari akhir surah sebelumnya).
Kesimpulan
Pembahasan Basmalah dalam Ulumul Qur’an menegaskan bahwa kalimat ini bukan hanya sekadar pembuka, tetapi memiliki status yang kompleks dalam mushaf dan kaidah pembacaan. Perbedaan pendapat ulama adalah bentuk kekayaan intelektual Islam yang harus disikapi dengan toleransi (tasāmuh), terutama dalam hal shalat dan hitungan ayat.