Menjadi seorang hafizh (penghafal Al-Qur’an) adalah sebuah anugerah, sebuah predikat yang didambakan banyak orang untuk meraih kemuliaan sebagai ahlullah (keluarga Allah). Namun, pernahkah terlintas sebuah istilah yang ganjil dan ironis: “Mantan Hafizh”?
Bagaimana mungkin sebuah nikmat yang lebih berharga dari dunia dan seisinya—sebuah hafalan yang dijaga ayat per ayat—bisa menjadi “mantan”?
Pertanyaan ini bukanlah untuk dijawab dengan logika sederhana “ya, bisa saja,” melainkan sebuah pertanyaan reflektif yang menusuk jauh ke dalam diri. Bagaimana mungkin seseorang yang telah menemukan kebahagiaan tertinggi dalam Al-Qur’an, rela melepaskannya seolah telah menemukan sesuatu yang lebih indah? Tentu saja, itu mustahil.
Artikel ini tidak sedang membahas mereka yang secara terbuka mengaku-aku, melainkan sebuah pengingat bahwa status “mantan hafizh” adalah sebuah kondisi yang bisa mengintai siapa saja.
Identitas “Mantan Hafizh”: Terlihat dari Perbuatan, Bukan Ucapan
Kita mungkin tidak akan pernah menemukan orang yang secara lisan mengaku, “Saya mantan hafizh.” Na’udzubillah. Kenyataannya, yang sering terjadi justru sebaliknya: orang yang tidak hafal mengaku-aku hafal.
Lalu, dari mana kita tahu keberadaan “mantan hafizh”? Jawabannya tidak terletak pada lisan, tetapi pada perbuatan.
Seorang “mantan hafizh” dapat diidentifikasi melalui tanda-tanda berikut:
- Tidak Lagi Menjaga Hafalan: Ia yang dulu bersusah payah menghafal, kini tidak pernah lagi mengulang (muraja’ah) hafalannya.
- Tidak Merasa Kehilangan: Ketika ayat-ayat itu mulai pudar dan hilang dari ingatan, tidak ada rasa penyesalan atau kehilangan yang berarti di hatinya.
- Tidak Ada Niat Kembali: Bukan hanya tidak menyesal, ia bahkan tidak memiliki niat atau semangat untuk mengembalikan hafalan yang telah hilang tersebut.
- Akhlak yang Jauh: Puncaknya, perilakunya sehari-hari (akhlaknya) menjadi jauh dari nilai-nilai Al-Qur’an yang dulu pernah ia junjung tinggi.
Lupa Itu Manusiawi, Apatis Itu Pilihan
Pertanyaan sesungguhnya adalah: “Apakah kita seperti itu?”
Coba kita jujur pada diri sendiri. Berapa banyak ayat yang dulu kita hafal di luar kepala, kini telah terlupakan? Lupa adalah hal yang wajar; fitrah manusia. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika lupa itu berubah menjadi sikap apatis dan kita membiarkan hafalan itu pergi begitu saja.
Saat itulah hafalan kita benar-benar menjadi “mantan”.
Kisah seorang mujahid dari kalangan Tabi’in yang juga penghafal Al-Qur’an menjadi bukti nyata. Karena tergoda fitnah wanita, ia rela menukar keimanannya. Akibatnya, seluruh hafalan Al-Qur’an di dalam dadanya lenyap, kecuali hanya dua ayat. Ini adalah bukti nyata bahwa status penjaga Al-Qur’an bisa dicabut.
Kemuliaan yang Terancam
Membiarkan hafalan hilang adalah sebuah kerugian yang tak ternilai. Al-Qur’an adalah harta yang paling berharga. Dengannya, kita menjanjikan kemuliaan di dunia dan akhirat. Dengannya, kita akan menghadiahkan mahkota kemuliaan dan pakaian kehormatan kepada kedua orang tua kita di surga kelak.
Setiap ayat yang kita jaga akan menaikkan derajat kita di surga. Masya Allah!
Jika kita menyadari betapa besarnya tanggung jawab ini—sedikit atau banyak hafalan yang kita miliki—kita akan sadar bahwa kitalah yang paling tahu jawaban atas pertanyaan di awal: “Siapa mantan hafizh itu?” Jawabannya adalah diri kita sendiri, jika kita masih bergeming dan tidak ada semangat untuk meraih kembali ayat-ayat yang telah terlupa.
Jalan Pulang: Jaga Ayatnya, Jaga Akhlaknya
Tulisan ini adalah penekanan agar kita tidak pernah patah semangat. Kita tidak akan pernah menjadi “mantan hafizh” selama kita terus berusaha menjaga ayat-ayat yang pernah kita hafal.
Menjaga Al-Qur’an memiliki dua dimensi:
- Menjaga Ayat-ayat-Nya: Melalui muraja’ah yang konsisten.
- Menjaga Akhlak-Nya: Menjadikan diri kita cerminan hidup dari Al-Qur’an yang kita hafal.
Jika para orientalis Barat bersusah payah mempelajari Al-Qur’an untuk menghancurkan Islam, kita menghafalnya untuk kemuliaan kita sendiri. Allah SWT telah memilih kita di antara miliaran hamba-Nya untuk menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Ini adalah anugerah terbesar yang harus disyukuri.
Cara terbaik mensyukurinya adalah dengan tetap menjaganya hingga akhir hayat. Mari kita kembalikan hafalan yang hilang itu ke dalam hati dan ingatan kita. Jangan pernah jadikan ia “mantan”.







0 Komentar