Harmonisasi Nilai dan Kinerja: Memperkuat Leadership, Manajemen, dan Administrasi MABIN An Nahdliyah Langitan

Harmonisasi Nilai dan Kinerja: Memperkuat Leadership, Manajemen, dan Administrasi MABIN An Nahdliyah Langitan

Langitan, 9 Oktober 2025 – Yayasan An Nahdliyah Langitan, sebagai garda terdepan dalam pengembangan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dan Madrasah Diniyah, kembali menegaskan komitmennya terhadap kualitas kelembagaan. Hal ini diwujudkan melalui penyelenggaraan sarasehan intensif bertema Penguatan Leadership, Manajemen, dan Administrasi yang diadakan pada Kamis, 9 Oktober 2025, di Aula Yayasan An Nahdliyah Langitan.

Acara penting ini dihadiri oleh jajaran pengurus Mabin An Nahdliyah Langitan. Kehadiran KH. Macshoem Faqih sebagai narasumber utama memberikan bobot dan inspirasi mendalam bagi seluruh peserta.

Leadership Berbasis Khidmah dan Visi Keummatan

Dalam sesi penguatan leadership, KH. Macshoem Faqih, masyayikh Pondok Pesantren Langitan, menyampaikan pentingnya kepemimpinan transformatif yang berakar pada prinsip khidmah.

Beliau menekankan bahwa menjadi pemimpin di lembaga pendidikan keagamaan bukan sekadar soal jabatan struktural, melainkan tentang tanggung jawab moral untuk melanjutkan estafet ilmu dan nilai-nilai ke-Nahdliyah-an.

Kegiatan ini tidak hanya menjadi forum transfer ilmu, tetapi juga menjadi wadah  silaturahim dan konsolidasi untuk menyamakan langkah dalam menjaga otentisitas dan mutu metode pembelajaran An Nahdliyah yang telah diwariskan oleh para pendiri.

Hukum Basmalah dalam Tinjauan Ulumul Qur’an: Status Ayat, Hitungan, dan Kaidah Bacaan

Hukum Basmalah dalam Tinjauan Ulumul Qur’an: Status Ayat, Hitungan, dan Kaidah Bacaan

Kalimat Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) memiliki kedudukan sentral dalam disiplin Ulumul Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an). Pembahasannya melampaui fikih sehari-hari dan menyentuh aspek fundamental Kitabullah, termasuk kedudukannya sebagai ayat, hitungan ayat (al-Fawāṣil), dan kaidah pembacaannya (Qira’at dan Tajwid). Perbedaan pandangan ulama mengenai Basmalah di awal surah adalah salah satu topik klasik yang paling terkenal.

  1. Kedudukan Basmalah sebagai Ayat Al-Qur’an

Semua ulama sepakat bahwa Basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an karena ia tercantum secara eksplisit di Surah An-Naml ayat 30. Namun, perselisihan timbul mengenai 113 Basmalah yang berada di awal surah-surah Al-Qur’an (kecuali At-Taubah). Yaitu :

  1. Mazhab Syafi’i: Basmalah Adalah Ayat

Pandangan ini dianut oleh Imam Syafi’i dan para ulama Kufah serta Makkah. Mereka berpendapat bahwa Basmalah adalah ayat pertama dari Surah Al-Fatihah dan merupakan ayat yang memisahkan antara surah-surah lainnya.

  • Implikasi Hukum: Dalam shalat, membaca Basmalah menjadi wajib (rukun) karena ia adalah bagian integral dari Surah Al-Fatihah. Mushaf Al-Qur’an di Indonesia yang mengikuti hitungan ulama Kufah mencantumkan Basmalah sebagai ayat nomor 1 pada Al-Fatihah.
  1. Mazhab Maliki: Hanya untuk Keberkahan

Imam Malik dan ulama Madinah berpandangan bahwa Basmalah bukanlah bagian dari Surah Al-Fatihah maupun surah-surah yang lain. Basmalah ditulis di awal surah hanya sebagai tanda pemisah dan untuk mengambil berkah (tabarruk).

  • Implikasi Hukum: Dalam shalat, sebagian Mazhab Maliki menilai Basmalah hanya sunah dibaca, bahkan sebagian menganggap makruh jika dibaca secara keras (jahr) saat shalat berjamaah.
  1. Mazhab Hanafi: Ayat Pemisah Independen

Imam Abu Hanifah mengambil jalan tengah. Basmalah memang bukan bagian dari Al-Fatihah atau surah lainnya, tetapi ia adalah satu ayat utuh yang diturunkan Allah untuk dijadikan pemisah antar surah.

  • Implikasi Hukum: Dalam shalat, membaca Basmalah di awal Fatihah dihukumi sunah, namun dianjurkan dibaca secara lirih (sirr).
  1. Hukum Membaca Basmalah dalam Kaidah Qira’at dan Tajwid

Dalam ilmu pembacaan Al-Qur’an, hukum Basmalah diatur berdasarkan posisi pembacaan:

  1. Hukum Memulai Bacaan (Ibtidā’)

Memulai dari Awal Surah (Kecuali At-Taubah):

Hukumnya adalah Sunah Muakkadah (sangat dianjurkan) setelah membaca Ta’awwudz (A’ūżu billāhi minasy-syaiṭānir-rajīm).

  1. Memulai dari Tengah Surah:

Hukumnya Mubah (boleh), yaitu pembaca dapat memilih untuk membaca Basmalah atau hanya cukup dengan Ta’awwudz. Namun, dianjurkan untuk dibaca jika memulai dari ayat yang memiliki makna baik, dan dihindari (atau dibaca lirih) jika memulai dari ayat yang maknanya mengandung kekafiran, setan, atau api neraka.

  1. Hukum Khusus Surah At-Taubah (Bara’ah)

Para ulama sepakat Basmalah tidak dibaca di awal Surah At-Taubah.

Alasan: Surah ini berisi pengumuman perang dan pemutusan perjanjian dari Allah SWT, sehingga tidak sesuai diawali dengan kata-kata rahmat (ar-Raḥmān ar-Raḥīm).

  1. Hukum Menyambung Dua Surah (al-Waṣl)

Ketika seorang pembaca selesai satu surah dan hendak melanjutkan ke surah berikutnya (selain Surah At-Taubah), terdapat tiga cara yang diperbolehkan (Jawazul Auwāji):

a. Potong Semua (Qat’ul Jami’): Berhenti di akhir surah pertama, berhenti, membaca Basmalah, berhenti, lalu memulai surah kedua. (Cara ini yang paling utama).

b. Sambung Semua (Waṣlul Jami’): Menyambung akhir surah pertama, Basmalah, dan awal surah kedua dalam satu tarikan napas.

c. Potong Basmalah (Qat’ul Basmalah): Berhenti di akhir surah pertama, Basmalah disambung dengan awal surah kedua.

d. Larangan: Tidak diperbolehkan menyambung akhir surah pertama dengan Basmalah lalu berhenti (karena Basmalah akan terkesan sebagai bagian dari akhir surah sebelumnya).

Kesimpulan

Pembahasan Basmalah dalam Ulumul Qur’an menegaskan bahwa kalimat ini bukan hanya sekadar pembuka, tetapi memiliki status yang kompleks dalam mushaf dan kaidah pembacaan. Perbedaan pendapat ulama adalah bentuk kekayaan intelektual Islam yang harus disikapi dengan toleransi (tasāmuh), terutama dalam hal shalat dan hitungan ayat.

Ribuan Jemaah Padati Haul Ke-14 Syaikhina KH. Abdullah Faqih di Ponpes Langitan Tuban

Ribuan Jemaah Padati Haul Ke-14 Syaikhina KH. Abdullah Faqih di Ponpes Langitan Tuban

TUBAN – Ribuan jemaah dari berbagai daerah memadati Musala Agung Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, untuk menghadiri peringatan Haul Syaikhina KH. Abdullah Faqih yang ke-14 pada Kamis, 2 Oktober. Acara sakral ini berlangsung khidmat dan penuh rasa haru, meneguhkan kembali kecintaan serta penghormatan pada sosok ulama kharismatik tersebut.

Acara dimulai tepat setelah salat Isya, dibuka dengan lantunan shalawat yang merdu dan pembacaan Maulid Simtudduror. Suasana makin syahdu ketika jamaah mengikuti pembacaan Shalawat Bil Qiyam yang dipimpin oleh grup shalawat ternama, Al-Muqtasidah.

Rangkaian Inti dan Tahlil Bersama

Setelah pembacaan shalawat, rangkaian acara inti dilanjutkan dengan bacaan surat-surat suci dan tahlil. Pembacaan Surat Yasin dipimpin oleh KH. Abdul Muhaimin Zuhri Demak, diikuti dengan pembacaan Tahlil yang khusyuk oleh Muhsin bin Yahya al-Jufri Bojonegoro.

Rangkaian pembacaan diakhiri dengan Do’a Wahbah yang dipimpin oleh Habib Alwi Tuban, yang mendoakan almarhum Syaikhina KH. Abdullah Faqih serta keberkahan bagi seluruh jemaah dan Pondok Pesantren Langitan.

Sambutan Keluarga dan Doa Penutup

Pada sesi sambutan, Syaikhina KH. Ubaidillah Faqih menyampaikan rasa terima kasih atas nama keluarga besar dan memohon doa agar perjuangan almarhum dalam mendidik umat dapat terus dilanjutkan. Sambutan tersebut disambut hangat oleh ribuan jemaah yang hadir.

Peringatan Haul Ke-14 ini kemudian ditutup dengan doa penutup yang dibacakan secara bergantian oleh beberapa ulama dan habaib terkemuka, menunjukkan kemuliaan acara tersebut. Para ulama yang memimpin doa penutup antara lain: Habib Musthafa bin Muhammad al-Idrus, Habib Alwi Assegaf, Syaikhina KH. Muhammad Ali Marzuki, dan Habib Abdul Qodir bin Ali Assegaf.

Peringatan Haul Syaikhina KH. Abdullah Faqih ini tidak hanya menjadi momentum mengenang, tetapi juga ajang silaturahmi bagi para alumni dan pencinta ulama dari berbagai penjuru Nusantara.

Nama-Nama Mulia Al-Qur’an dan Maknanya: Sebuah Kajian Tentang Keagungan Wahyu Illahi

Nama-Nama Mulia Al-Qur’an dan Maknanya: Sebuah Kajian Tentang Keagungan Wahyu Illahi

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Keagungan dan fungsinya yang multifaset membuat kitab suci ini dikenal dengan berbagai nama lain yang masing-masing merefleksikan aspek, peran, dan sifatnya yang luhur.

Mengenal nama-nama ini bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga memperdalam pemahaman kita akan kedudukan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

  1. Al-Kitab (Buku atau Tulisan)

Nama ini adalah yang paling umum selain Al-Qur’an itu sendiri. Al-Kitab (الكتاب) secara harfiah berarti “buku” atau “yang tertulis.” Nama ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah koleksi lengkap, sebuah teks yang utuh, dan menjadi sumber hukum serta rujukan utama.

  • Makna: Menekankan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang terjaga dalam bentuk tulisan dan terkumpul secara sistematis.
  1. Al-Furqan (Pembeda)

Al-Furqan (الفرقان) memiliki arti “pembeda” atau “pemisah.” Ini adalah nama yang sangat penting karena menunjukkan fungsi utama Al-Qur’an: membedakan antara yang hak (benar) dan yang batil (salah).

  • Makna: Al-Qur’an adalah standar mutlak yang memisahkan kebenaran ilahi dari kekeliruan, petunjuk dari kesesatan.
  1. Adz-Dzikr (Peringatan atau Pengingat)

Adz-Dzikr (الذِكر) berarti “peringatan,” “pengingat,” atau “kemuliaan.” Sebagai “pengingat,” Al-Qur’an berfungsi membangunkan manusia dari kelalaian terhadap tujuan penciptaan mereka dan mengingatkan mereka tentang janji serta ancaman Allah.

  • Makna: Al-Qur’an adalah sumber yang menjaga manusia tetap terhubung dengan Allah, mengingatkan mereka akan tugas dan takdir
  1. At-Tanzil (Yang Diturunkan)

Nama ini merujuk pada proses pewahyuan Al-Qur’an. At-Tanzil (التنزيل) berarti “yang diturunkan.” Nama ini secara langsung menegaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah karya manusia, melainkan wahyu yang berasal dari Allah SWT.

  • Makna: Menegaskan asal-usul ilahi Al-Qur’an, yang diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW.
  1. Al-Huda (Petunjuk)

Al-Huda (الهدى) berarti “petunjuk.” Ini adalah inti dari peran Al-Qur’an bagi umat manusia. Ia adalah cahaya yang menuntun orang yang tersesat menuju jalan yang lurus (Shiratal Mustaqim).

  • Makna: Al-Qur’an adalah pembimbing yang memberikan arahan jelas dalam semua aspek kehidupan, baik spiritual maupun duniawi.

Nama-Nama Mulia Lainnya

Selain lima nama utama di atas, Al-Qur’an juga memiliki banyak nama lain yang semakin memperkaya pemahaman kita tentang keagungannya:

  • Asy-Syifa (الشفاء): Berarti “obat” atau “penyembuh.” Al-Qur’an adalah penyembuh penyakit hati seperti keraguan, kemunafikan, dan kesesatan.
  • Al-Mau’idhah (الموعظة): Berarti “nasihat” atau “pelajaran.” Al-Qur’an berisi pengajaran dan peringatan yang lembut namun tegas.
  • Al-Habl (الحبل): Berarti “tali.” Ini merujuk pada “Tali Allah” yang harus dipegang teguh oleh umat Islam untuk mencapai persatuan dan keselamatan.
  • Al-Qayyim (القيّم): Berarti “yang lurus” atau “pembimbing yang lurus.” Ini menekankan bahwa ajarannya adalah yang paling benar dan tidak bengkok.
  • Al-Mubarak (المبارك): Berarti “yang diberkahi” atau “yang membawa berkah.” Membaca, mempelajari, dan mengamalkannya mendatangkan kebaikan dan keberkahan.

 

Kesimpulan

Banyaknya nama untuk Al-Qur’an bukanlah suatu kebetulan, melainkan cerminan dari kesempurnaan dan keuniversalan pesan yang terkandung di dalamnya. Setiap nama membuka jendela baru untuk merenungkan keindahan firman Allah dan perannya dalam kehidupan kita.

Memanggilnya dengan Al-Kitab mengingatkan kita pada kekokohannya sebagai teks. Memanggilnya Al-Furqan menegaskan fungsinya sebagai pembeda kebenaran. Dan memanggilnya Al-Huda menegaskan fungsinya sebagai petunjuk abadi.

Dengan menghayati setiap nama ini, kita diharapkan semakin termotivasi untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama cahaya dan pedoman dalam setiap langkah hidup kita.

Menggali Hikmah Ilahi: Mengapa Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur-Angsur?

Menggali Hikmah Ilahi: Mengapa Al-Qur’an Diturunkan Secara Berangsur-Angsur?

Al-Qur’an, mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, diturunkan oleh Allah SWT tidak secara sekaligus, melainkan berangsur-angsur (bertahap) selama kurang lebih 23 tahun. Metode penurunan yang unik ini, dari wahyu pertama di Gua Hira hingga ayat terakhir menjelang wafatnya Rasulullah SAW, menyimpan kebijaksanaan (hikmah) yang sangat agung.

Penurunan bertahap ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk yang hidup dan dinamis, bukan sekadar buku hukum yang kaku.

5 Hikmah Utama Penurunan Al-Qur’an Secara Bertahap

  1. Menguatkan dan Meneguhkan Hati Rasulullah SAW

Dalam menghadapi penolakan, penganiayaan, dan permusuhan dari kaum kafir Quraisy, Nabi Muhammad SAW membutuhkan dukungan moral dan spiritual yang berkelanjutan. Setiap kali wahyu turun, ia berfungsi sebagai penghibur dan penguat hati bagi beliau.

Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang kafir berkata, ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” (QS. Al-Furqan: 32). Turunnya ayat demi ayat menegaskan janji pertolongan dan kebenaran risalah beliau di saat-saat sulit.

  1. Memudahkan Umat dalam Memahami dan Mengamalkannya

Masyarakat Arab saat itu sebagian besar adalah kaum ummi (tidak bisa membaca dan menulis), dan Islam datang membawa ajaran yang revolusioner. Jika seluruh Al-Qur’an diturunkan sekaligus, akan sulit bagi mereka untuk mencerna, menghafal, dan mengamalkan seluruh hukum dan petunjuk dalam waktu singkat.

Penurunan bertahap memungkinkan para sahabat:

  • Menghafal setiap bagian dengan baik.
  • Memahami maknanya secara mendalam.
  • Mengamalkan hukum yang baru turun sebelum menerima wahyu berikutnya, sehingga ajaran Islam meresap secara perlahan ke dalam jiwa dan perilaku.
  1. Bertahap dalam Penetapan Hukum (Tasyri’)

Al-Qur’an mengubah tatanan masyarakat Jahiliah yang sarat dengan kebiasaan buruk, seperti meminum khamr (minuman keras) dan praktik riba. Perubahan drastis dan mendadak berpotensi menimbulkan penolakan massal.

Oleh karena itu, Allah menerapkan hukum secara gradual, memungkinkan adaptasi sosial dan psikologis. Contoh paling jelas adalah pengharaman khamr, yang diturunkan dalam beberapa tahapan ayat, dari anjuran untuk berpikir tentang mudaratnya, larangan salat dalam keadaan mabuk, hingga pengharaman total. Pendekatan bertahap ini menunjukkan kebijaksanaan Ilahi yang sangat memahami fitrah manusia.

  1. Merespons Peristiwa dan Memberi Solusi atas Persoalan Umat

Banyak ayat Al-Qur’an diturunkan sebagai Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), yaitu sebagai respons langsung terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi, perselisihan, atau pertanyaan yang diajukan.

Sebagai contoh, ayat-ayat tentang li’an (sumpah suami istri yang saling menuduh) atau hukum waris sering kali turun setelah munculnya kasus nyata di tengah masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang relevan dan solutif, bukan hanya teori, yang turun tepat waktu untuk menyelesaikan masalah umat.

  1. Bukti Mutlak Keaslian dan Keajaiban Al-Qur’an

Al-Qur’an diturunkan dalam kondisi yang berbeda-beda, meliputi periode yang panjang, merespons berbagai situasi politik, sosial, dan militer. Meskipun demikian, seluruh isinya tetap koheren, konsisten, dan bebas dari kontradiksi.

Jika Al-Qur’an adalah karangan manusia, mustahil isi dan gaya bahasanya bisa sepadu dan seindah itu setelah 23 tahun. Konsistensi ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa sumber Al-Qur’an adalah Dzat Yang Maha Bijaksana, yaitu Allah SWT, seperti firman-Nya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82).

Kesimpulan: Metode penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah manifestasi sempurna dari kebijaksanaan dan rahmat Allah SWT. Ia dirancang untuk mendidik, menguatkan, dan membimbing umat manusia secara efektif, mengubah masyarakat dari kegelapan menuju cahaya secara sistematis dan penuh kasih sayang.