langitanmabin@gmail.com

IAINU Tuban dan Yayasan Mabin An Nahdliyah Langitan Bersinergi Gelar Diklat Standarisasi Guru TPQ

IAINU Tuban dan Yayasan Mabin An Nahdliyah Langitan Bersinergi Gelar Diklat Standarisasi Guru TPQ

Tuban, IAINUonline – Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban kembali menunjukkan komitmennya dalam peningkatan kualitas pendidikan Al-Qur’an di wilayah Pantura. Melalui Lembaga Pusat Studi Qur’an dan Turots, IAINU Tuban sukses menggelar Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Standarisasi Guru Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dengan menggunakan Metode An Nahdliyah yang populer.

Kegiatan strategis ini merupakan hasil kerjasama erat antara IAINU Tuban dengan Yayasan Mabin An Nahdliyah Langitan. Diklat dilaksanakan secara khidmat pada Jumat, 14 November 2025, dan bertempat di Aula KH. Hasyim Asy’ari kampus IAINU Tuban.

Perkuat Kompetensi Guru TPQ Lokal

Diklat ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dan standarisasi pengajaran Metode An Nahdliyah agar para santri TPQ dapat membaca Al-Qur’an dengan fasih dan sesuai kaidah tajwid yang benar.

Kerjasama ini diawali dengan penandatanganan kesepakatan resmi. Ana Achoita, selaku Ketua Lembaga Pusat Studi Qur’an dan Turots IAINU Tuban, secara langsung menandatangani MoU bersama Ustadz Ahmad Ulul Hikam, Ketua Yayasan Mabin An Nahdliyah Langitan.

Ustadz Ahmad Ulul Hikam, yang mewakili pihak Yayasan Mabin An Nahdliyah Langitan, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya kegiatan ini.

“Kami mengapresiasi inisiatif IAINU Tuban. Metode An Nahdliyah telah banyak dipraktikkan oleh berbagai lembaga dan guru TPQ karena terbukti efektif dalam mengajarkan anak-anak mengaji Al-Qur’an dengan cepat dan tepat,” jelas Ustadz Ulul Hikam. “Metode ini adalah warisan yang diridhai oleh para sesepuh, dan insyaallah akan membawa keberkahan bagi para pendidik.”

Harapan IAINU Tuban untuk Pendidikan Qur’ani

Diklat yang dihadiri oleh puluhan guru TPQ dari berbagai pelosok Tuban dan sekitarnya ini menjadi bukti nyata keseriusan IAINU Tuban dalam mencetak kader ulama dan pendidik yang berkualitas.

Penyelenggara berharap, melalui diklat intensif yang fokus pada teknik pengajaran, materi, dan evaluasi Metode An Nahdliyah ini, kualitas pengajaran Al-Qur’an di tingkat dasar dapat merata dan mampu mencetak generasi muda yang Qur’ani.

Kegiatan ini ditutup dengan sesi praktek dan ujian (munaqosah) untuk memastikan setiap guru yang berpartisipasi telah menguasai metode tersebut secara komprehensif, sekaligus mengukuhkan posisi IAINU Tuban sebagai pusat pengembangan keilmuan Al-Qur’an berbasis Nahdlatul Ulama.

 

Majelis Pembina TPQ An Nahdliyah Sukses Gelar RAKORNAS 2025 di UIN Surakarta, Sekaligus Peringati HAUL Muassis ke-XXVI

Majelis Pembina TPQ An Nahdliyah Sukses Gelar RAKORNAS 2025 di UIN Surakarta, Sekaligus Peringati HAUL Muassis ke-XXVI

Surakarta, Ahad 26 Oktober 2025 – Majelis Pembina Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) An Nahdliyah se-Indonesia telah sukses menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) Tahun 2025. Acara bergengsi ini dilaksanakan di Kampus UIN Raden Mas Said Surakarta, Jawa Tengah, selama dua hari, pada Sabtu hingga Ahad, 25-26 Oktober 2025.

RAKORNAS ini dihadiri oleh para pengurus dan pembina TPQ An Nahdliyah dari berbagai wilayah di Indonesia. Agenda utama difokuskan pada sinkronisasi program kerja, evaluasi metode pembelajaran, serta penguatan kelembagaan untuk menghadapi tantangan pendidikan Al-Qur’an di masa depan.

Pemilihan UIN Raden Mas Said Surakarta sebagai tuan rumah memberikan nuansa akademis yang kental dalam pembahasan strategi pembinaan umat.

Selain agenda koordinasi nasional, penyelenggaraan RAKORNAS tahun ini juga bertepatan dengan momentum penting, yaitu peringatan HAUL ke-XXVI (ke-26) KH. Munawir Kholid.

  1. Munawir Kholid merupakan tokoh sentral dalam organisasi ini, yang dikenal luas sebagai Muassis (Pendiri) Metode An Nahdliyah. Metode ini telah terbukti efektif dan digunakan secara masif di berbagai TPQ untuk mengajarkan baca-tulis Al-Qur’an. Rangkaian acara HAUL, termasuk tahlil dan doa bersama, berlangsung dengan khidmat, mengingatkan kembali seluruh peserta akan jasa dan warisan spiritual sang pendiri.

Acara yang berlangsung selama dua hari ini berjalan dengan lancar dan sukses. Para peserta diharapkan dapat membawa hasil rekomendasi RAKORNAS untuk diterapkan di daerah masing-masing, demi menjaga standarisasi dan kualitas Metode An Nahdliyah di seluruh pelosok negeri.

Dualitas Ayat Al-Qur’an: Menyelami Makna Muhkamat dan Mutasyabihat Bersama Ulama Klasik

Dualitas Ayat Al-Qur’an: Menyelami Makna Muhkamat dan Mutasyabihat Bersama Ulama Klasik

Al-Qur’an, sebagai kitab suci, menyimpan dua kategori ayat yang menjadi inti dari kajian Ulumul Qur’an: ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat. Keberadaan keduanya merupakan sebuah anugerah sekaligus tantangan bagi keimanan. Sebagaimana Allah tegaskan:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ

“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an); di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 7)

Kemampuan membedakan dan menyikapi kedua jenis ayat ini menjadi krusial. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian akidah agar tidak tergelincir pada tasybīh (menyerupakan Allah dengan makhluk) ataupun ta‘ṭīl (menafikan sifat-sifat-Nya). Ini adalah proses mendialogkan nalar (aql) dengan kepatuhan pada wahyu (naql).

  1. Hakikat Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Kalam Ulama

Para ulama klasik telah merumuskan definisi (ibaroh) untuk memahami esensi dari kedua jenis ayat ini.

  1. Ayat Muhkamat: Fondasi yang Kokoh

Kata Muhkam (المُحْكَم) secara bahasa berarti sesuatu yang dikokohkan atau dicegah dari keraguan. Inilah fondasi Al-Qur’an yang disebut sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab).

  • Menurut ulama salaf seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat Muhkamat adalah ayat yang maknanya lugas, gamblang, dan tidak mengandung keraguan interpretasi.
  • Ulama lain, seperti Ali bin Abi Thalhah, merincinya sebagai ayat-ayat yang secara eksplisit mengatur hukum (halal-haram), kewajiban (fara’id), dan batasan (hudud). Intinya, Muhkamat adalah ayat yang maknanya dapat dipahami secara langsung tanpa memerlukan rujukan lain.
  1. Ayat Mutasyabihat: Samudera Makna yang Dalam

Kata Mutasyabih (المُتَشَابِه) berarti adanya keserupaan atau kesamaran. Ayat-ayat ini sengaja diturunkan dengan makna yang tidak langsung.

  • Ibnu Abbas dalam riwayat lain menyebutnya sebagai ayat yang memiliki banyak wajah penafsiran (wujuh) atau maknanya tersembunyi.
  • Contoh paling umum yang disepakati ulama klasik adalah huruf-huruf Muqaththa’ah (potongan huruf di awal surah), hakikat Hari Kiamat, dan ayat-ayat yang menyangkut sifat Allah (sifāt khabariyyah) seperti Istiwa’ (Bersemayam) atau Yadullah (Tangan Allah).
  1. Dua Pendekatan Utama dalam Menyikapi Mutasyabihat

Perbedaan pandangan mengenai siapa yang dapat mengetahui takwil ayat Mutasyabihat melahirkan dua metodologi besar di kalangan ulama:

  1. Pendekatan Tafwidh (Mazhab Salaf)

Metode ini, yang dipegang oleh mayoritas ulama salaf (terdahulu) seperti Imam Malik bin Anas, memilih jalan aman dengan:

  • Mengimani lafazhnya sebagaimana datangnya.
  • Menyerahkan (tafwidh) hakikat maknanya kepada Allah semata.
  • Mereka meyakini makna lahiriahnya, namun menolak membayangkan “bagaimana”-nya (kaifiyyah) dan menolak menyerupakannya dengan makhluk.
  • Kalam (ungkapan) Imam Malik sangat masyhur: “Al-Istiwa’ ma’lum (Bersemayam itu diketahui maknanya), wal kaifu majhul (dan bagaimana hakikatnya tidak diketahui), wal imanu bihi wajib (dan mengimaninya wajib), was su’alu ‘anhu bid’ah (dan bertanya tentangnya adalah bid’ah).”
  1. Pendekatan Ta’wil (Mazhab Khalaf)

Metode ini dianut oleh banyak ulama khalaf (terkemudian) dan sebagian ulama salaf. Mereka berpandangan bahwa ar-rasikhun fil ‘ilmi (orang yang ilmunya mendalam) memiliki kapasitas untuk:

  • Melakukan Ta’wil, yaitu mengalihkan makna lahiriah (yang berpotensi tasybīh) kepada makna metaforis (majazi) yang paling sesuai dengan keagungan Allah.
  • Tujuannya adalah untuk menyucikan Allah (tanzih) dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
  • Sebagai contoh, Yadullah (Tangan Allah) ditakwilkan sebagai kekuatan atau nikmat Allah, agar sesuai dengan ayat Muhkamat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” (QS. Asy-Syura: 11).
  1. Dua Arsitek Akidah Ahlus Sunnah

Formulasi akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menyeimbangkan dua pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh dua imam besar:

  1. Imam Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī (260–324 H)

Beliau adalah tokoh dari Basrah yang merumuskan jalan tengah setelah meninggalkan paham Mu’tazilah. Melalui karya seperti al-Ibānah dan al-Luma‘, Imam Al-Asy’ari menjembatani dalil wahyu (naql) dengan logika (aql). Beliau pada dasarnya mengafirmasi metode tafwidh ala salaf, namun membuka ruang bagi ta’wil yang shahih sebagai perangkat untuk membantah paham yang menyimpang dan menjaga akidah umat.

  1. Imam Abū Manṣūr al-Māturīdī (w. 333 H)

Ulama besar dari Samarkand ini, melalui Kitāb at-Tawḥīd dan Ta’wīlāt al-Qur’ān, dikenal mengedepankan nalar (aql) dalam bingkai wahyu (nash). Imam Al-Maturidi lebih cenderung menggunakan ta’wil secara sistematis untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabihat, demi mencapai tanzih dan membuktikan keesaan Allah secara rasional.

Dengan berkaca pada kedua imam ini, kita belajar bahwa beriman membutuhkan ilmu, dan berilmu harus dilandasi iman. Ayat Muhkamat adalah pemandu yang kokoh, sementara ayat Mutasyabihat adalah lautan hikmah yang menuntut kita untuk berlayar dengan kompas akidah yang benar.

Di Setiap Kesulitan Ada Kemudahan: Menemukan Cahaya Al-Qur’an di Tengah Ujian Kehidupan

Di Setiap Kesulitan Ada Kemudahan: Menemukan Cahaya Al-Qur’an di Tengah Ujian Kehidupan

Hidup adalah sebuah perjalanan yang tak pernah luput dari ombak ujian. Terkadang, kita merasa lelah, goyah, bahkan nyaris putus asa saat dihadapkan pada kesulitan, baik dalam urusan pekerjaan, keluarga, maupun pribadi. Di saat-saat seperti inilah, Al-Qur’an hadir bukan sekadar sebagai bacaan, melainkan sebagai sumber kekuatan dan petunjuk yang menenangkan jiwa.

Allah SWT, Sang Pencipta yang Maha Mengetahui setiap helaan napas hamba-Nya, telah memberikan janji yang menyejukkan hati. Janji ini bukanlah isapan jempol, melainkan sebuah kepastian yang diulang-ulang untuk menguatkan kita.

Janji Allah yang Menguatkan Jiwa

Salah satu ayat yang paling sering menjadi pengingat dan sumber optimisme bagi seorang mukmin adalah firman Allah dalam Surat Al-Insyirah. Di dalamnya, Allah SWT berfirman:

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ – اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

Artinya: “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pengulangan ayat ini bukan sekadar penegasan biasa. Ia membawa makna yang mendalam. Kata ‘al-‘usr’ (kesulitan) dalam ayat tersebut menggunakan alif lam (ma’rifah) yang menunjukkan pada satu kesulitan yang sama. Sementara kata ‘yusran’ (kemudahan) tidak menggunakan alif lam (nakirah), yang mengisyaratkan bahwa kemudahan yang datang bisa lebih dari satu dan dalam berbagai bentuk. Ini adalah pesan ilahi bahwa satu masalah yang kita hadapi sesungguhnya telah Allah siapkan beragam jalan keluar untuknya.

Ujian Sebagai Tanda Cinta

Terkadang kita bertanya, mengapa harus ada kesulitan? Al-Qur’an mengajarkan kita untuk mengubah cara pandang. Ujian bukanlah hukuman, melainkan salah satu cara Allah menunjukkan cinta-Nya. Melalui ujian, Allah ingin mengangkat derajat kita, menghapus dosa-dosa kita, dan mengajarkan kita arti sabar serta tawakal.

Sebagaimana firman-Nya:

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

Artinya: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Ayat ini mengingatkan bahwa ujian adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan. Ia adalah proses penyaringan yang akan membuat kualitas iman kita semakin murni dan kokoh.

Langkah Praktis Menemukan Ketenangan

Lalu, bagaimana cara kita agar tetap tegar dan menemukan kemudahan yang dijanjikan?

  1. Sabar dan Shalat: Al-Qur’an memberikan dua kunci utama saat menghadapi cobaan. “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS. Al-Baqarah: 45). Sabar adalah kekuatan untuk menahan diri dari keluh kesah, sementara shalat adalah momen kita terhubung langsung dengan Sang Pemberi Solusi.
  2. Husnudzan (Berbaik Sangka) kepada Allah: Yakinilah bahwa setiap ketetapan Allah adalah yang terbaik. Boleh jadi, kita tidak menyukai sesuatu, padahal di baliknya ada kebaikan yang besar. Sebaliknya, boleh jadi kita menyukai sesuatu, padahal itu membawa keburukan bagi kita. (QS. Al-Baqarah: 216).
  3. Memperbanyak Istighfar dan Doa: Istighfar membuka pintu rahmat dan rezeki, sedangkan doa adalah senjata orang beriman. Jangan pernah berhenti meminta, karena Allah Maha Mendengar setiap bisikan hati hamba-Nya.

Pada akhirnya, setiap kesulitan yang kita hadapi adalah undangan dari Allah untuk kembali mendekat kepada-Nya. Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman, kita akan menyadari bahwa di balik awan mendung ujian, Allah telah menyiapkan pelangi kemudahan yang indah. Percayalah pada janji-Nya, karena janji Allah adalah sebenar-benarnya janji.

Membedah Dunia Pesantren dan Santri: Sebuah Tradisi yang Terus Beradaptasi

Membedah Dunia Pesantren dan Santri: Sebuah Tradisi yang Terus Beradaptasi

Di tengah lanskap pendidikan Indonesia yang terus berkembang, pesantren tetap menjadi pilar institusi pendidikan Islam yang khas dan mengakar kuat. Lebih dari sekadar tempat menimba ilmu agama, pesantren merupakan sebuah ekosistem holistik yang membentuk karakter, kemandirian, dan spiritualitas para pelajarnya yang dikenal sebagai santri. Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai dunia pesantren dan santri, dari sejarah dan tradisi hingga tantangan dan adaptasi di era modern.

Inti dari Pesantren dan Santri

Secara etimologis, pesantren berasal dari kata “pe-santri-an,” yang berarti tempat para santri. Seorang santri adalah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Ada berbagai teori mengenai asal-usul kata “santri,” salah satunya dari bahasa Sanskerta, “shastri,” yang berarti orang yang memahami kitab suci.

Secara historis, keberadaan pesantren di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari proses penyebaran Islam. Tokoh-tokoh Wali Songo, seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), diyakini sebagai beberapa perintis awal lembaga pendidikan ini. Elemen-elemen fundamental yang membentuk sebuah pesantren meliputi:

  • Kiai: Sosok ulama sentral yang menjadi pengasuh, pendidik, dan figur panutan.
  • Santri: Para siswa yang tinggal dan belajar di lingkungan pesantren.
  • Pondok atau Asrama: Tempat tinggal para santri yang menjadi ciri khas utama kehidupan komunal di pesantren.
  • Masjid: Pusat kegiatan ibadah dan pembelajaran.
  • Pengajaran Kitab Kuning: Studi mendalam mengenai kitab-kitab klasik Islam yang menjadi inti kurikulum tradisional.

Kurikulum dan Kehidupan Sehari-hari: Perpaduan Tradisi dan Modernitas

Kehidupan seorang santri ditempa melalui rutinitas harian yang sangat terstruktur dan disiplin. Hari dimulai sejak dini hari dengan salat tahajud, dilanjutkan dengan salat subuh berjamaah, dan mengaji Al-Qur’an. Setelah itu, para santri mengikuti kegiatan belajar formal di madrasah atau sekolah yang kini banyak terintegrasi dalam sistem pesantren.

Seiring berjalannya waktu, banyak pesantren telah beradaptasi dengan tuntutan zaman. Kurikulum di pesantren modern kini tidak hanya berfokus pada ilmu-ilmu agama, tetapi juga mengintegrasikan mata pelajaran umum seperti matematika, sains, dan bahasa asing. Sistem ini bertujuan untuk melahirkan lulusan yang tidak hanya mumpuni dalam bidang keagamaan tetapi juga kompetitif di dunia global.

Meski demikian, tradisi-tradisi khas seperti sorogan (santri membaca kitab di hadapan kiai secara individual) dan bandongan (kiai membacakan dan menjelaskan kitab kepada kelompok santri) masih banyak dipertahankan sebagai metode pengajaran klasik. Di luar jam belajar, para santri juga dibekali dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan bakat dan keterampilan, mulai dari kaligrafi, pencak silat, hingga wirausaha.

Peran Sosial dan Tantangan di Era Digital

Sejak era perjuangan kemerdekaan, santri telah memainkan peran penting dalam sejarah bangsa. Keterlibatan mereka dalam laskar-laskar perjuangan seperti Hizbullah dan Sabilillah menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya menjadi pusat keilmuan tetapi juga pusat pergerakan nasional. Hingga kini, alumni pesantren terus berkontribusi di berbagai sektor masyarakat, baik sebagai tokoh agama, akademisi, birokrat, maupun pengusaha.

Memasuki era digital, pesantren dihadapkan pada tantangan dan peluang baru. Salah satu tantangan utamanya adalah menjaga nilai-nilai tradisi di tengah arus informasi dan budaya digital yang masif. Pengawasan konten digital dan peningkatan literasi digital di kalangan santri menjadi isu krusial yang harus dihadapi.

Namun, di sisi lain, teknologi juga membuka peluang besar bagi dunia pesantren. Digitalisasi materi pembelajaran, pengembangan platform e-learning, dan pemanfaatan media sosial untuk dakwah (e-dakwah) adalah beberapa inovasi yang telah diadopsi oleh banyak pesantren. Adaptasi ini menunjukkan bahwa pesantren adalah lembaga yang dinamis dan mampu merespons perubahan zaman tanpa harus kehilangan identitas dan nilai-nilai intinya.

Dengan demikian, pesantren dan santri akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan sosial dan keagamaan di Indonesia, sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam sekaligus pencetak generasi penerus bangsa yang berakhlak dan berwawasan luas.

Pin It on Pinterest