langitanmabin@gmail.com

Majelis Pembina TPQ An Nahdliyah Sukses Gelar RAKORNAS 2025 di UIN Surakarta, Sekaligus Peringati HAUL Muassis ke-XXVI

Majelis Pembina TPQ An Nahdliyah Sukses Gelar RAKORNAS 2025 di UIN Surakarta, Sekaligus Peringati HAUL Muassis ke-XXVI

Surakarta, Ahad 26 Oktober 2025 – Majelis Pembina Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) An Nahdliyah se-Indonesia telah sukses menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) Tahun 2025. Acara bergengsi ini dilaksanakan di Kampus UIN Raden Mas Said Surakarta, Jawa Tengah, selama dua hari, pada Sabtu hingga Ahad, 25-26 Oktober 2025.

RAKORNAS ini dihadiri oleh para pengurus dan pembina TPQ An Nahdliyah dari berbagai wilayah di Indonesia. Agenda utama difokuskan pada sinkronisasi program kerja, evaluasi metode pembelajaran, serta penguatan kelembagaan untuk menghadapi tantangan pendidikan Al-Qur’an di masa depan.

Pemilihan UIN Raden Mas Said Surakarta sebagai tuan rumah memberikan nuansa akademis yang kental dalam pembahasan strategi pembinaan umat.

Selain agenda koordinasi nasional, penyelenggaraan RAKORNAS tahun ini juga bertepatan dengan momentum penting, yaitu peringatan HAUL ke-XXVI (ke-26) KH. Munawir Kholid.

  1. Munawir Kholid merupakan tokoh sentral dalam organisasi ini, yang dikenal luas sebagai Muassis (Pendiri) Metode An Nahdliyah. Metode ini telah terbukti efektif dan digunakan secara masif di berbagai TPQ untuk mengajarkan baca-tulis Al-Qur’an. Rangkaian acara HAUL, termasuk tahlil dan doa bersama, berlangsung dengan khidmat, mengingatkan kembali seluruh peserta akan jasa dan warisan spiritual sang pendiri.

Acara yang berlangsung selama dua hari ini berjalan dengan lancar dan sukses. Para peserta diharapkan dapat membawa hasil rekomendasi RAKORNAS untuk diterapkan di daerah masing-masing, demi menjaga standarisasi dan kualitas Metode An Nahdliyah di seluruh pelosok negeri.

Dualitas Ayat Al-Qur’an: Menyelami Makna Muhkamat dan Mutasyabihat Bersama Ulama Klasik

Dualitas Ayat Al-Qur’an: Menyelami Makna Muhkamat dan Mutasyabihat Bersama Ulama Klasik

Al-Qur’an, sebagai kitab suci, menyimpan dua kategori ayat yang menjadi inti dari kajian Ulumul Qur’an: ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat. Keberadaan keduanya merupakan sebuah anugerah sekaligus tantangan bagi keimanan. Sebagaimana Allah tegaskan:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ

“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an); di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab, dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 7)

Kemampuan membedakan dan menyikapi kedua jenis ayat ini menjadi krusial. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian akidah agar tidak tergelincir pada tasybīh (menyerupakan Allah dengan makhluk) ataupun ta‘ṭīl (menafikan sifat-sifat-Nya). Ini adalah proses mendialogkan nalar (aql) dengan kepatuhan pada wahyu (naql).

  1. Hakikat Muhkamat dan Mutasyabihat dalam Kalam Ulama

Para ulama klasik telah merumuskan definisi (ibaroh) untuk memahami esensi dari kedua jenis ayat ini.

  1. Ayat Muhkamat: Fondasi yang Kokoh

Kata Muhkam (المُحْكَم) secara bahasa berarti sesuatu yang dikokohkan atau dicegah dari keraguan. Inilah fondasi Al-Qur’an yang disebut sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab).

  • Menurut ulama salaf seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat Muhkamat adalah ayat yang maknanya lugas, gamblang, dan tidak mengandung keraguan interpretasi.
  • Ulama lain, seperti Ali bin Abi Thalhah, merincinya sebagai ayat-ayat yang secara eksplisit mengatur hukum (halal-haram), kewajiban (fara’id), dan batasan (hudud). Intinya, Muhkamat adalah ayat yang maknanya dapat dipahami secara langsung tanpa memerlukan rujukan lain.
  1. Ayat Mutasyabihat: Samudera Makna yang Dalam

Kata Mutasyabih (المُتَشَابِه) berarti adanya keserupaan atau kesamaran. Ayat-ayat ini sengaja diturunkan dengan makna yang tidak langsung.

  • Ibnu Abbas dalam riwayat lain menyebutnya sebagai ayat yang memiliki banyak wajah penafsiran (wujuh) atau maknanya tersembunyi.
  • Contoh paling umum yang disepakati ulama klasik adalah huruf-huruf Muqaththa’ah (potongan huruf di awal surah), hakikat Hari Kiamat, dan ayat-ayat yang menyangkut sifat Allah (sifāt khabariyyah) seperti Istiwa’ (Bersemayam) atau Yadullah (Tangan Allah).
  1. Dua Pendekatan Utama dalam Menyikapi Mutasyabihat

Perbedaan pandangan mengenai siapa yang dapat mengetahui takwil ayat Mutasyabihat melahirkan dua metodologi besar di kalangan ulama:

  1. Pendekatan Tafwidh (Mazhab Salaf)

Metode ini, yang dipegang oleh mayoritas ulama salaf (terdahulu) seperti Imam Malik bin Anas, memilih jalan aman dengan:

  • Mengimani lafazhnya sebagaimana datangnya.
  • Menyerahkan (tafwidh) hakikat maknanya kepada Allah semata.
  • Mereka meyakini makna lahiriahnya, namun menolak membayangkan “bagaimana”-nya (kaifiyyah) dan menolak menyerupakannya dengan makhluk.
  • Kalam (ungkapan) Imam Malik sangat masyhur: “Al-Istiwa’ ma’lum (Bersemayam itu diketahui maknanya), wal kaifu majhul (dan bagaimana hakikatnya tidak diketahui), wal imanu bihi wajib (dan mengimaninya wajib), was su’alu ‘anhu bid’ah (dan bertanya tentangnya adalah bid’ah).”
  1. Pendekatan Ta’wil (Mazhab Khalaf)

Metode ini dianut oleh banyak ulama khalaf (terkemudian) dan sebagian ulama salaf. Mereka berpandangan bahwa ar-rasikhun fil ‘ilmi (orang yang ilmunya mendalam) memiliki kapasitas untuk:

  • Melakukan Ta’wil, yaitu mengalihkan makna lahiriah (yang berpotensi tasybīh) kepada makna metaforis (majazi) yang paling sesuai dengan keagungan Allah.
  • Tujuannya adalah untuk menyucikan Allah (tanzih) dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
  • Sebagai contoh, Yadullah (Tangan Allah) ditakwilkan sebagai kekuatan atau nikmat Allah, agar sesuai dengan ayat Muhkamat “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” (QS. Asy-Syura: 11).
  1. Dua Arsitek Akidah Ahlus Sunnah

Formulasi akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menyeimbangkan dua pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh dua imam besar:

  1. Imam Abū al-Ḥasan al-Asy‘arī (260–324 H)

Beliau adalah tokoh dari Basrah yang merumuskan jalan tengah setelah meninggalkan paham Mu’tazilah. Melalui karya seperti al-Ibānah dan al-Luma‘, Imam Al-Asy’ari menjembatani dalil wahyu (naql) dengan logika (aql). Beliau pada dasarnya mengafirmasi metode tafwidh ala salaf, namun membuka ruang bagi ta’wil yang shahih sebagai perangkat untuk membantah paham yang menyimpang dan menjaga akidah umat.

  1. Imam Abū Manṣūr al-Māturīdī (w. 333 H)

Ulama besar dari Samarkand ini, melalui Kitāb at-Tawḥīd dan Ta’wīlāt al-Qur’ān, dikenal mengedepankan nalar (aql) dalam bingkai wahyu (nash). Imam Al-Maturidi lebih cenderung menggunakan ta’wil secara sistematis untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabihat, demi mencapai tanzih dan membuktikan keesaan Allah secara rasional.

Dengan berkaca pada kedua imam ini, kita belajar bahwa beriman membutuhkan ilmu, dan berilmu harus dilandasi iman. Ayat Muhkamat adalah pemandu yang kokoh, sementara ayat Mutasyabihat adalah lautan hikmah yang menuntut kita untuk berlayar dengan kompas akidah yang benar.

Di Setiap Kesulitan Ada Kemudahan: Menemukan Cahaya Al-Qur’an di Tengah Ujian Kehidupan

Di Setiap Kesulitan Ada Kemudahan: Menemukan Cahaya Al-Qur’an di Tengah Ujian Kehidupan

Hidup adalah sebuah perjalanan yang tak pernah luput dari ombak ujian. Terkadang, kita merasa lelah, goyah, bahkan nyaris putus asa saat dihadapkan pada kesulitan, baik dalam urusan pekerjaan, keluarga, maupun pribadi. Di saat-saat seperti inilah, Al-Qur’an hadir bukan sekadar sebagai bacaan, melainkan sebagai sumber kekuatan dan petunjuk yang menenangkan jiwa.

Allah SWT, Sang Pencipta yang Maha Mengetahui setiap helaan napas hamba-Nya, telah memberikan janji yang menyejukkan hati. Janji ini bukanlah isapan jempol, melainkan sebuah kepastian yang diulang-ulang untuk menguatkan kita.

Janji Allah yang Menguatkan Jiwa

Salah satu ayat yang paling sering menjadi pengingat dan sumber optimisme bagi seorang mukmin adalah firman Allah dalam Surat Al-Insyirah. Di dalamnya, Allah SWT berfirman:

فَاِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۙ – اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ

Artinya: “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pengulangan ayat ini bukan sekadar penegasan biasa. Ia membawa makna yang mendalam. Kata ‘al-‘usr’ (kesulitan) dalam ayat tersebut menggunakan alif lam (ma’rifah) yang menunjukkan pada satu kesulitan yang sama. Sementara kata ‘yusran’ (kemudahan) tidak menggunakan alif lam (nakirah), yang mengisyaratkan bahwa kemudahan yang datang bisa lebih dari satu dan dalam berbagai bentuk. Ini adalah pesan ilahi bahwa satu masalah yang kita hadapi sesungguhnya telah Allah siapkan beragam jalan keluar untuknya.

Ujian Sebagai Tanda Cinta

Terkadang kita bertanya, mengapa harus ada kesulitan? Al-Qur’an mengajarkan kita untuk mengubah cara pandang. Ujian bukanlah hukuman, melainkan salah satu cara Allah menunjukkan cinta-Nya. Melalui ujian, Allah ingin mengangkat derajat kita, menghapus dosa-dosa kita, dan mengajarkan kita arti sabar serta tawakal.

Sebagaimana firman-Nya:

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

Artinya: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Ayat ini mengingatkan bahwa ujian adalah bagian tak terpisahkan dari keimanan. Ia adalah proses penyaringan yang akan membuat kualitas iman kita semakin murni dan kokoh.

Langkah Praktis Menemukan Ketenangan

Lalu, bagaimana cara kita agar tetap tegar dan menemukan kemudahan yang dijanjikan?

  1. Sabar dan Shalat: Al-Qur’an memberikan dua kunci utama saat menghadapi cobaan. “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS. Al-Baqarah: 45). Sabar adalah kekuatan untuk menahan diri dari keluh kesah, sementara shalat adalah momen kita terhubung langsung dengan Sang Pemberi Solusi.
  2. Husnudzan (Berbaik Sangka) kepada Allah: Yakinilah bahwa setiap ketetapan Allah adalah yang terbaik. Boleh jadi, kita tidak menyukai sesuatu, padahal di baliknya ada kebaikan yang besar. Sebaliknya, boleh jadi kita menyukai sesuatu, padahal itu membawa keburukan bagi kita. (QS. Al-Baqarah: 216).
  3. Memperbanyak Istighfar dan Doa: Istighfar membuka pintu rahmat dan rezeki, sedangkan doa adalah senjata orang beriman. Jangan pernah berhenti meminta, karena Allah Maha Mendengar setiap bisikan hati hamba-Nya.

Pada akhirnya, setiap kesulitan yang kita hadapi adalah undangan dari Allah untuk kembali mendekat kepada-Nya. Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman, kita akan menyadari bahwa di balik awan mendung ujian, Allah telah menyiapkan pelangi kemudahan yang indah. Percayalah pada janji-Nya, karena janji Allah adalah sebenar-benarnya janji.

Membedah Dunia Pesantren dan Santri: Sebuah Tradisi yang Terus Beradaptasi

Membedah Dunia Pesantren dan Santri: Sebuah Tradisi yang Terus Beradaptasi

Di tengah lanskap pendidikan Indonesia yang terus berkembang, pesantren tetap menjadi pilar institusi pendidikan Islam yang khas dan mengakar kuat. Lebih dari sekadar tempat menimba ilmu agama, pesantren merupakan sebuah ekosistem holistik yang membentuk karakter, kemandirian, dan spiritualitas para pelajarnya yang dikenal sebagai santri. Artikel ini akan mengupas lebih dalam mengenai dunia pesantren dan santri, dari sejarah dan tradisi hingga tantangan dan adaptasi di era modern.

Inti dari Pesantren dan Santri

Secara etimologis, pesantren berasal dari kata “pe-santri-an,” yang berarti tempat para santri. Seorang santri adalah murid yang menuntut ilmu di pesantren. Ada berbagai teori mengenai asal-usul kata “santri,” salah satunya dari bahasa Sanskerta, “shastri,” yang berarti orang yang memahami kitab suci.

Secara historis, keberadaan pesantren di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari proses penyebaran Islam. Tokoh-tokoh Wali Songo, seperti Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik), diyakini sebagai beberapa perintis awal lembaga pendidikan ini. Elemen-elemen fundamental yang membentuk sebuah pesantren meliputi:

  • Kiai: Sosok ulama sentral yang menjadi pengasuh, pendidik, dan figur panutan.
  • Santri: Para siswa yang tinggal dan belajar di lingkungan pesantren.
  • Pondok atau Asrama: Tempat tinggal para santri yang menjadi ciri khas utama kehidupan komunal di pesantren.
  • Masjid: Pusat kegiatan ibadah dan pembelajaran.
  • Pengajaran Kitab Kuning: Studi mendalam mengenai kitab-kitab klasik Islam yang menjadi inti kurikulum tradisional.

Kurikulum dan Kehidupan Sehari-hari: Perpaduan Tradisi dan Modernitas

Kehidupan seorang santri ditempa melalui rutinitas harian yang sangat terstruktur dan disiplin. Hari dimulai sejak dini hari dengan salat tahajud, dilanjutkan dengan salat subuh berjamaah, dan mengaji Al-Qur’an. Setelah itu, para santri mengikuti kegiatan belajar formal di madrasah atau sekolah yang kini banyak terintegrasi dalam sistem pesantren.

Seiring berjalannya waktu, banyak pesantren telah beradaptasi dengan tuntutan zaman. Kurikulum di pesantren modern kini tidak hanya berfokus pada ilmu-ilmu agama, tetapi juga mengintegrasikan mata pelajaran umum seperti matematika, sains, dan bahasa asing. Sistem ini bertujuan untuk melahirkan lulusan yang tidak hanya mumpuni dalam bidang keagamaan tetapi juga kompetitif di dunia global.

Meski demikian, tradisi-tradisi khas seperti sorogan (santri membaca kitab di hadapan kiai secara individual) dan bandongan (kiai membacakan dan menjelaskan kitab kepada kelompok santri) masih banyak dipertahankan sebagai metode pengajaran klasik. Di luar jam belajar, para santri juga dibekali dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan bakat dan keterampilan, mulai dari kaligrafi, pencak silat, hingga wirausaha.

Peran Sosial dan Tantangan di Era Digital

Sejak era perjuangan kemerdekaan, santri telah memainkan peran penting dalam sejarah bangsa. Keterlibatan mereka dalam laskar-laskar perjuangan seperti Hizbullah dan Sabilillah menunjukkan bahwa pesantren tidak hanya menjadi pusat keilmuan tetapi juga pusat pergerakan nasional. Hingga kini, alumni pesantren terus berkontribusi di berbagai sektor masyarakat, baik sebagai tokoh agama, akademisi, birokrat, maupun pengusaha.

Memasuki era digital, pesantren dihadapkan pada tantangan dan peluang baru. Salah satu tantangan utamanya adalah menjaga nilai-nilai tradisi di tengah arus informasi dan budaya digital yang masif. Pengawasan konten digital dan peningkatan literasi digital di kalangan santri menjadi isu krusial yang harus dihadapi.

Namun, di sisi lain, teknologi juga membuka peluang besar bagi dunia pesantren. Digitalisasi materi pembelajaran, pengembangan platform e-learning, dan pemanfaatan media sosial untuk dakwah (e-dakwah) adalah beberapa inovasi yang telah diadopsi oleh banyak pesantren. Adaptasi ini menunjukkan bahwa pesantren adalah lembaga yang dinamis dan mampu merespons perubahan zaman tanpa harus kehilangan identitas dan nilai-nilai intinya.

Dengan demikian, pesantren dan santri akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan sosial dan keagamaan di Indonesia, sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam sekaligus pencetak generasi penerus bangsa yang berakhlak dan berwawasan luas.

Memahami Istighotsah: Makna, Landasan, dan Amalannya dalam Islam

Memahami Istighotsah: Makna, Landasan, dan Amalannya dalam Islam

Dalam khazanah spiritualitas Islam, terdapat berbagai cara bagi seorang hamba untuk terhubung dan memohon pertolongan kepada Sang Pencipta. Salah satu bentuk doa yang memiliki kekhususan, terutama saat menghadapi kesulitan besar, adalah istighotsah.

Istighotsah sering kali didengar dalam konteks doa bersama untuk memohon pertolongan atas musibah, bencana, atau krisis. Namun, apa sebenarnya makna istighotsah dan bagaimana kedudukannya dalam ajaran Islam? Artikel ini akan mengulasnya secara mendalam.

Apa Itu Istighotsah?

Secara bahasa (etimologi), istighotsah (اِسْتِغَاثَة) berasal dari kata Arab al-ghawts (الغَوْث) yang berarti “pertolongan” atau “bantuan”. Penambahan ‘ista’ (است) di depannya membentuk makna “meminta” atau “mencari”. Jadi, secara harfiah, istighotsah adalah tindakan meminta pertolongan atau bantuan.

Dalam terminologi Islam, istighotsah adalah sebuah bentuk doa (supplikasi) yang spesifik. Ia adalah permohonan pertolongan kepada Allah SWT yang dilakukan dalam keadaan genting, sulit, terdesak, atau ketika merasa tidak ada lagi yang bisa menolong selain-Nya. Ini adalah seruan mendesak untuk diselamatkan dari marabahaya.

Landasan Teologis Istighotsah

Istighotsah memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ia pada dasarnya adalah manifestasi dari tauhid, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah-lah sumber segala pertolongan.

  1. Dalam Al-Qur’an

Dalil paling jelas tentang istighotsah adalah kisah Perang Badar, di mana kaum Muslimin yang berjumlah sedikit menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar. Dalam kondisi genting tersebut, mereka memohon pertolongan Allah.

Allah SWT berfirman:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

Yang artinya: “(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”  (QS al-Anfal: 9).

Ayat ini secara eksplisit menggunakan kata tastaghîtsûna (bentuk kata kerja dari istighotsah) sebagai tindakan para sahabat yang kemudian dijawab langsung oleh Allah.

  1. Dalam Hadits

Rasulullah SAW sendiri melakukan istighotsah dalam berbagai kesempatan. Salah satu yang paling terkenal adalah doa beliau saat shalat istisqa’ (meminta hujan) ketika terjadi kekeringan panjang. Beliau mengangkat tangan tinggi-tinggi, menunjukkan keseriusan dan urgensi permohonan beliau kepada Allah.

Hadits lain yang sering dikutip terkait hakikat istighotsah (meminta pertolongan) adalah:

“Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.”

(HR. Tirmidzi)

Hakikat dan Jenis Istighotsah

Para ulama membagi pembahasan istighotsah untuk memperjelas batasannya, terutama untuk menjaga kemurnian tauhid (monoteisme).

  1. Istighotsah kepada Allah

Ini adalah bentuk istighotsah yang hakiki dan murni. Yaitu meminta pertolongan secara langsung kepada Allah SWT, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, karena meyakini bahwa hanya Dia yang memiliki kekuatan mutlak untuk menolong.

Dalam Surat al-Anfal ayat 9 disebutkan:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

Yang artinya: “(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”  (QS al-Anfal: 9).

Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad  memohon bantuan dari Allah. Saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar di mana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam, kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat. Dalam Surat Al-Ahqaf ayat  17 juga disebutkan:

وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ

Yang artinya: “Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah” (QS al Ahqaf:17).

Yang dalam hal ini, memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

  1. Istighotsah kepada Selain Allah

Beristighotsah kepada selain Allah hukumnya boleh dengan melihat bahwa makhluk yang dimintai pertolongan adalah sebab. Jadi meskipun sesungguhnya pertolongan itu datangnya dari Allah, Allah-lah pemberi pertolongan yang sesungguhnya, namun tidak menafikan bahwa Allah menjadikan sebab-sebab yang telah dipersiapkan agar terwujud pertolongan tersebut.

Dalil-dalil Istighotsah dengan Selain Allah

  1. Hadits al-Bukhari:

إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ العَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ  (رواه البخاريّ) ـ

“Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka  berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah  (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad ” (HR al-Bukhari).

Faedah Hadits: Hadits ini adalah dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di mahsyar terkena terik panasnya sinar matahari mereka meminta tolong kepada para nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu, dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik di dunia, sedangkan di akhirat tidak terhitung syirik. Syirik adalah syirik di dunia dan di akhirat, dan yang bukan syirik di dunia, bukan syirik pula di akhirat!

  1. Hadits riwayat al-Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya:

عَنْ مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ  فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ، فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ

Maknanya: “Paceklik datang di masa Umar, maka salah seorang sahabat yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka betul-betul telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah dalam melayani umat.” Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu.” Hadits ini dinilai sahih oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristighotsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi Nida’ (memanggil) yaitu (يَا رَسُوْلَ اللهِ). Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ), maknanya adalah: “Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu,” bukan ciptakanlah hujan untuk ummatmu. Jadi dari sini diketahui bahwa boleh bertawassul dan beristighotsah dengan mengatakan:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ، أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Karena maknanya adalah tolonglah aku dengan doamu kepada Allah, selamatkanlah aku dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa’at atau mara bahaya, beliau hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang sahih:

اللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ

Berarti sebagaimana Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits karena hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah. Jadi boleh mengatakan perkataan (أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ) dan semacamnya ketika bertawassul, karena keyakinan seorang muslim ketika mengatakannya adalah bahwa seorang nabi dan wali hanya sebab sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan mara bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan nabi atau wali tersebut.

Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul, beristighotsah dengan mengatakan: (يَارَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ)  yang mengandung nida’ (panggilan) dan perkataan (اسْتَسْقِ) tidak mengafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani, sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.

  1. Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ (رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ) ـ

Maknanya: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat di bumi selain hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku, wahai para hamba Allah” (HR ath-Thabarani dan al Hafizh al Haytsami mengatakan: perawi-perawinya tepercaya, juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Ibnu as-Sunni) Hadits ini dinilai hasan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam al Ama-li.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristi’anah dan beristighotsah dengan selain Allah, yaitu para shalihin meskipun tidak di hadapan mereka dengan redaksi nida’ (memanggil). An-Nawawi setelah menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al-Adzkar mengatakan: “Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan bahwa pernah suatu ketika lepas hewan tunggangannya dan beliau mengetahui hadits ini lalu beliau mengucapkannya maka seketika hewan tunggangan tersebut berhenti berlari, Saya-pun suatu ketika bersama suatu jama’ah kemudian terlepas seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut berhenti tanpa sebab kecuali ucapan tersebut.” Ini menunjukkan bahwa mengucapkan tawassul dan istighotsah tersebut adalah amalan para ulama ahli hadits dan yang lainnya.

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya, al-Adab al-Mufrad dengan sanad yang sahih tanpa ‘illat dari Abdurrahman ibn Sa’d, beliau berkata: Suatu ketika kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!, lalu Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu, kaki beliau sembuh. Atsar ini juga diriwayatkan oleh al Imam Ibrahim al Harbi dalam kitabnya Gharib al-Hadits. Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa sahabat Abdullah ibnu Umar melakukan Istighotsah dengan nida’: “Yaa Muhammad (يَا مُحَمَّدُ).” Makna يَا مُحَمَّدُ adalah  أَدْرِكْنِيْ بِدُعَائِكَ إِلَى اللهِ: “tolonglah aku dengan doamu kepada Allah.” Hal ini dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ini menunjukkan bahwa boleh beristighotsah dan bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat, meskipun dengan menggunakan redaksi nida’, jadi nida’ al-mayyit (memanggil seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik.

Bagaimana dengan Tawassul dalam Istighotsah?

Dalam praktik di sebagian kalangan Muslim (seperti di Indonesia dalam acara Istighotsah Kubro), seringkali istighotsah diiringi dengan tawassul (mengambil perantara). Yaitu berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama orang saleh, nabi, atau wali, dengan niat bahwa doa tersebut lebih makbul karena “menumpang” pada kemuliaan mereka.

Contoh: “Ya Allah, dengan kemuliaan Nabi Muhammad, kabulkanlah hajat kami…”

Ini adalah wilayah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa bagi mereka yang mengamalkannya, permintaan tetap ditujukan hanya kepada Allah. Orang-orang saleh tersebut hanya dijadikan wasilah (perantara) kecintaan, bukan objek yang dimintai pertolongan.

Tata Cara dan Amalan dalam Istighotsah

Istighotsah pada intinya adalah doa yang mendesak, sehingga tidak memiliki tata cara baku yang kaku. Kapan pun seorang hamba merasa terdesak, ia bisa langsung berseru “Ya Allah, tolong!” dengan tulus, dan itu adalah istighotsah.

Namun, dalam praktiknya sebagai sebuah amalan kolektif (berjamaah) atau wirid, istighotsah sering kali disusun dalam sebuah rangkaian zikir dan doa untuk menambah kekhusyukan. Susunannya bisa bervariasi, namun umumnya mencakup:

  1. Niat yang Tulus: Ikhlas memohon pertolongan hanya kepada Allah.
  2. Istighfar (Memohon Ampun): Dimulai dengan menyadari dosa dan bertaubat, seringkali dengan membaca Astaghfirullahal ‘adzim.
  3. Tawassul (Bagi yang Mengamalkan): Mengirimkan Al-Fatihah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, para wali, dan ulama.
  4. Zikir Inti: Membaca wirid-wirid utama seperti:
    • Laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah).
    • Shalawat Nabi (misalnya Shalawat Nariyah atau Munjiyat).
    • Ya Hayyu Ya Qayyum, bi rahmatika astaghits (Wahai Yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan).
    • Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu (seperti Ayat Kursi).
  5. Doa Penutup: Menyampaikan hajat atau masalah spesifik yang sedang dihadapi secara tulus dan penuh harap.

Manfaat dan Keutamaan Istighotsah

Mengamalkan istighotsah, baik sendiri maupun bersama-sama, memiliki banyak manfaat spiritual dan psikologis:

  1. Menenangkan Jiwa: Mengakui kelemahan diri dan menyerahkan masalah kepada Yang Maha Kuat memberikan ketenangan batin yang luar biasa.
  2. Memperkuat Tauhid: Istighotsah adalah pengakuan tulus bahwa tidak ada penolong sejati selain Allah.
  3. Ikhtiar Batin: Ini adalah bentuk usaha spiritual (ikhtiar batin) yang melengkapi usaha fisik (ikhtiar lahir) dalam menyelesaikan masalah.
  4. Mempererat Ukhuwwah: Jika dilakukan secara kolektif, istighotsah dapat memperkuat rasa persaudaraan dan solidaritas antar sesama Muslim.

Penutup

Istighotsah adalah senjata ampuh seorang mukmin. Ia adalah jembatan langsung antara hamba yang lemah dengan Tuhannya Yang Maha Perkasa. Di saat dunia terasa sempit dan masalah terasa buntu, istighotsah adalah seruan kepasrahan total yang membuktikan kedalaman iman seseorang.

Yang terpenting dalam istighotsah adalah ketulusan hati dan kemurnian tauhid, yaitu keyakinan mutlak bahwa segala solusi dan pertolongan hanya datang dari sisi Allah SWT semata.

 

Pin It on Pinterest