Dalam khazanah spiritualitas Islam, terdapat berbagai cara bagi seorang hamba untuk terhubung dan memohon pertolongan kepada Sang Pencipta. Salah satu bentuk doa yang memiliki kekhususan, terutama saat menghadapi kesulitan besar, adalah istighotsah.
Istighotsah sering kali didengar dalam konteks doa bersama untuk memohon pertolongan atas musibah, bencana, atau krisis. Namun, apa sebenarnya makna istighotsah dan bagaimana kedudukannya dalam ajaran Islam? Artikel ini akan mengulasnya secara mendalam.
Apa Itu Istighotsah?
Secara bahasa (etimologi), istighotsah (اِسْتِغَاثَة) berasal dari kata Arab al-ghawts (الغَوْث) yang berarti “pertolongan” atau “bantuan”. Penambahan ‘ista’ (است) di depannya membentuk makna “meminta” atau “mencari”. Jadi, secara harfiah, istighotsah adalah tindakan meminta pertolongan atau bantuan.
Dalam terminologi Islam, istighotsah adalah sebuah bentuk doa (supplikasi) yang spesifik. Ia adalah permohonan pertolongan kepada Allah SWT yang dilakukan dalam keadaan genting, sulit, terdesak, atau ketika merasa tidak ada lagi yang bisa menolong selain-Nya. Ini adalah seruan mendesak untuk diselamatkan dari marabahaya.
Landasan Teologis Istighotsah
Istighotsah memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ia pada dasarnya adalah manifestasi dari tauhid, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah-lah sumber segala pertolongan.
- Dalam Al-Qur’an
Dalil paling jelas tentang istighotsah adalah kisah Perang Badar, di mana kaum Muslimin yang berjumlah sedikit menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar. Dalam kondisi genting tersebut, mereka memohon pertolongan Allah.
Allah SWT berfirman:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
Yang artinya: “(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS al-Anfal: 9).
Ayat ini secara eksplisit menggunakan kata tastaghîtsûna (bentuk kata kerja dari istighotsah) sebagai tindakan para sahabat yang kemudian dijawab langsung oleh Allah.
- Dalam Hadits
Rasulullah SAW sendiri melakukan istighotsah dalam berbagai kesempatan. Salah satu yang paling terkenal adalah doa beliau saat shalat istisqa’ (meminta hujan) ketika terjadi kekeringan panjang. Beliau mengangkat tangan tinggi-tinggi, menunjukkan keseriusan dan urgensi permohonan beliau kepada Allah.
Hadits lain yang sering dikutip terkait hakikat istighotsah (meminta pertolongan) adalah:
“Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.”
(HR. Tirmidzi)
Hakikat dan Jenis Istighotsah
Para ulama membagi pembahasan istighotsah untuk memperjelas batasannya, terutama untuk menjaga kemurnian tauhid (monoteisme).
- Istighotsah kepada Allah
Ini adalah bentuk istighotsah yang hakiki dan murni. Yaitu meminta pertolongan secara langsung kepada Allah SWT, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, karena meyakini bahwa hanya Dia yang memiliki kekuatan mutlak untuk menolong.
Dalam Surat al-Anfal ayat 9 disebutkan:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ
Yang artinya: “(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS al-Anfal: 9).
Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad memohon bantuan dari Allah. Saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar di mana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam, kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat. Dalam Surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan:
وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ
Yang artinya: “Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah” (QS al Ahqaf:17).
Yang dalam hal ini, memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
- Istighotsah kepada Selain Allah
Beristighotsah kepada selain Allah hukumnya boleh dengan melihat bahwa makhluk yang dimintai pertolongan adalah sebab. Jadi meskipun sesungguhnya pertolongan itu datangnya dari Allah, Allah-lah pemberi pertolongan yang sesungguhnya, namun tidak menafikan bahwa Allah menjadikan sebab-sebab yang telah dipersiapkan agar terwujud pertolongan tersebut.
Dalil-dalil Istighotsah dengan Selain Allah
- Hadits al-Bukhari:
إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ العَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ (رواه البخاريّ) ـ
“Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad ” (HR al-Bukhari).
Faedah Hadits: Hadits ini adalah dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di mahsyar terkena terik panasnya sinar matahari mereka meminta tolong kepada para nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu, dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik di dunia, sedangkan di akhirat tidak terhitung syirik. Syirik adalah syirik di dunia dan di akhirat, dan yang bukan syirik di dunia, bukan syirik pula di akhirat!
- Hadits riwayat al-Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya:
عَنْ مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ، فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ
Maknanya: “Paceklik datang di masa Umar, maka salah seorang sahabat yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka betul-betul telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah dalam melayani umat.” Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu.” Hadits ini dinilai sahih oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristighotsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi Nida’ (memanggil) yaitu (يَا رَسُوْلَ اللهِ). Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ), maknanya adalah: “Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu,” bukan ciptakanlah hujan untuk ummatmu. Jadi dari sini diketahui bahwa boleh bertawassul dan beristighotsah dengan mengatakan:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ، أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ
Karena maknanya adalah tolonglah aku dengan doamu kepada Allah, selamatkanlah aku dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa’at atau mara bahaya, beliau hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang sahih:
اللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ
Berarti sebagaimana Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits karena hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah. Jadi boleh mengatakan perkataan (أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ) dan semacamnya ketika bertawassul, karena keyakinan seorang muslim ketika mengatakannya adalah bahwa seorang nabi dan wali hanya sebab sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan mara bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan nabi atau wali tersebut.
Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul, beristighotsah dengan mengatakan: (يَارَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ) yang mengandung nida’ (panggilan) dan perkataan (اسْتَسْقِ) tidak mengafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani, sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.
- Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ (رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ) ـ
Maknanya: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat di bumi selain hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku, wahai para hamba Allah” (HR ath-Thabarani dan al Hafizh al Haytsami mengatakan: perawi-perawinya tepercaya, juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Ibnu as-Sunni) Hadits ini dinilai hasan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam al Ama-li.
Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristi’anah dan beristighotsah dengan selain Allah, yaitu para shalihin meskipun tidak di hadapan mereka dengan redaksi nida’ (memanggil). An-Nawawi setelah menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al-Adzkar mengatakan: “Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan bahwa pernah suatu ketika lepas hewan tunggangannya dan beliau mengetahui hadits ini lalu beliau mengucapkannya maka seketika hewan tunggangan tersebut berhenti berlari, Saya-pun suatu ketika bersama suatu jama’ah kemudian terlepas seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut berhenti tanpa sebab kecuali ucapan tersebut.” Ini menunjukkan bahwa mengucapkan tawassul dan istighotsah tersebut adalah amalan para ulama ahli hadits dan yang lainnya.
- Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya, al-Adab al-Mufrad dengan sanad yang sahih tanpa ‘illat dari Abdurrahman ibn Sa’d, beliau berkata: Suatu ketika kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!, lalu Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu, kaki beliau sembuh. Atsar ini juga diriwayatkan oleh al Imam Ibrahim al Harbi dalam kitabnya Gharib al-Hadits. Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa sahabat Abdullah ibnu Umar melakukan Istighotsah dengan nida’: “Yaa Muhammad (يَا مُحَمَّدُ).” Makna يَا مُحَمَّدُ adalah أَدْرِكْنِيْ بِدُعَائِكَ إِلَى اللهِ: “tolonglah aku dengan doamu kepada Allah.” Hal ini dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ini menunjukkan bahwa boleh beristighotsah dan bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat, meskipun dengan menggunakan redaksi nida’, jadi nida’ al-mayyit (memanggil seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik.
Bagaimana dengan Tawassul dalam Istighotsah?
Dalam praktik di sebagian kalangan Muslim (seperti di Indonesia dalam acara Istighotsah Kubro), seringkali istighotsah diiringi dengan tawassul (mengambil perantara). Yaitu berdoa kepada Allah dengan menyebut nama-nama orang saleh, nabi, atau wali, dengan niat bahwa doa tersebut lebih makbul karena “menumpang” pada kemuliaan mereka.
Contoh: “Ya Allah, dengan kemuliaan Nabi Muhammad, kabulkanlah hajat kami…”
Ini adalah wilayah khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa bagi mereka yang mengamalkannya, permintaan tetap ditujukan hanya kepada Allah. Orang-orang saleh tersebut hanya dijadikan wasilah (perantara) kecintaan, bukan objek yang dimintai pertolongan.
Tata Cara dan Amalan dalam Istighotsah
Istighotsah pada intinya adalah doa yang mendesak, sehingga tidak memiliki tata cara baku yang kaku. Kapan pun seorang hamba merasa terdesak, ia bisa langsung berseru “Ya Allah, tolong!” dengan tulus, dan itu adalah istighotsah.
Namun, dalam praktiknya sebagai sebuah amalan kolektif (berjamaah) atau wirid, istighotsah sering kali disusun dalam sebuah rangkaian zikir dan doa untuk menambah kekhusyukan. Susunannya bisa bervariasi, namun umumnya mencakup:
- Niat yang Tulus: Ikhlas memohon pertolongan hanya kepada Allah.
- Istighfar (Memohon Ampun): Dimulai dengan menyadari dosa dan bertaubat, seringkali dengan membaca Astaghfirullahal ‘adzim.
- Tawassul (Bagi yang Mengamalkan): Mengirimkan Al-Fatihah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, para wali, dan ulama.
- Zikir Inti: Membaca wirid-wirid utama seperti:
- Laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah).
- Shalawat Nabi (misalnya Shalawat Nariyah atau Munjiyat).
- Ya Hayyu Ya Qayyum, bi rahmatika astaghits (Wahai Yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan).
- Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu (seperti Ayat Kursi).
- Doa Penutup: Menyampaikan hajat atau masalah spesifik yang sedang dihadapi secara tulus dan penuh harap.
Manfaat dan Keutamaan Istighotsah
Mengamalkan istighotsah, baik sendiri maupun bersama-sama, memiliki banyak manfaat spiritual dan psikologis:
- Menenangkan Jiwa: Mengakui kelemahan diri dan menyerahkan masalah kepada Yang Maha Kuat memberikan ketenangan batin yang luar biasa.
- Memperkuat Tauhid: Istighotsah adalah pengakuan tulus bahwa tidak ada penolong sejati selain Allah.
- Ikhtiar Batin: Ini adalah bentuk usaha spiritual (ikhtiar batin) yang melengkapi usaha fisik (ikhtiar lahir) dalam menyelesaikan masalah.
- Mempererat Ukhuwwah: Jika dilakukan secara kolektif, istighotsah dapat memperkuat rasa persaudaraan dan solidaritas antar sesama Muslim.
Penutup
Istighotsah adalah senjata ampuh seorang mukmin. Ia adalah jembatan langsung antara hamba yang lemah dengan Tuhannya Yang Maha Perkasa. Di saat dunia terasa sempit dan masalah terasa buntu, istighotsah adalah seruan kepasrahan total yang membuktikan kedalaman iman seseorang.
Yang terpenting dalam istighotsah adalah ketulusan hati dan kemurnian tauhid, yaitu keyakinan mutlak bahwa segala solusi dan pertolongan hanya datang dari sisi Allah SWT semata.








0 Komentar