Bolehkah Mencampuradukkan Qira’at saat Baca Al-Qur’an?

Bolehkah Mencampuradukkan Qira’at saat Baca Al-Qur’an?

Dalam Islam, seorang Muslim boleh memilih untuk menggunakan salah satu qira’at Al-Qur’an yang mutawatirah (sangat valid karena diriwayatkan banyak perawi kredibel yang mustahil mereka bersekongkol dalam kebohongan); asyrah (imam sepuluh) atau sab’ah (imam tujuh). Sebagaimana ia boleh memilih salah satu mazhab yang empat dalam bidang fiqih; Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hanbali. Tidak ada kewajiban baginya untuk menambatkan hati kepada satu qira’at saja. Keleluasaan dalam memilih merupakan bagian dari rahmat dan kasih sayang Allah agar hamba-Nya tidak mendapatkan kesulitan ketika membaca Al-Qur’an.

Kendati demikian, ketika seseorang memilih satu di antara qira’at Al-Qur’an yang ada, sebaiknya ia selalu konsisten mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku, sebab ketika mencampuradukkan beberapa qira’at, maka ia termasuk dalam kategori talfiq al-Qira’at atau takhlith al-Qira’at. Apa yang dimaksud talfiq dalam qira’at Al-Qur’an? dan bagaimana pendapat ulama qira’at mengenai hal tersebut?

Secara bahasa, talfiq memiliki arti menggabungkan, menyambung atau menyetik jahitan. Seperti menjahit kain yang terpisah agar tersambung.

Talfiq menurut ulama qira’at adalah mencapur-adukan beberapa qira’at imam atau riwayat qira’at. Misalnya, seseorang membaca dengan qira’at Imam Ashim riwayat Hafs, kemudian ketika sampai pada kata yang memiliki perbedaan qira’at, ia membaca dengan riwayat yang lain dan kemudian melanjutkan lagi dengan menggunakan riwayat Imam Hafs.

Apakah talfiq dalam qira’at Al-Qur’an diperbolehkan? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat; beberapa melarang secara mutlak, beberapa memperbolehkan secara mutlak, dan terdapat pula yang memperinci dan menengahi kedua pendapat di atas.

Pendapat pertama yang menyatakan bahwa talfiq qira’at Al-Qur’an secara mutlak tidak diperbolehkan dipaparkan oleh Imam al-Sakhawi dan al-Nuwairi.

Imam al-Sakhawi, sebagaimana dinukil oleh al-Jazari, berkata: “Mencampuradukkan qira’at; sebagian dengan sebagian yang lain adalah sebuah kesalahan” (al-Jazari, Al-Nasyar fi al-Qira’at al-Asyr, 1: 18).

Senada dengan pendapat di atas, Imam al-Nuwairi berkata: “Mencampuradukkan qira’at Al-Qur’an dan menyusunnya bersamaan adalah haram, makruh atau tercela”. (al-Dhabba’, Bulugh al-Umniyah Syarah: 78).

Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Imam al-Qasthalani: “Seorang qari’ seharusnya menjaga qira’at dan menghindari pencampuradukan periwayatan serta membedakan antara satu qira’at dengan qira’at yang lain, apabila yang demikian tidak dilakukan, maka ia akan terjerumus pada qira’at yang tidak diperbolehkan dan membaca sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diturunkan kepada Nabi”.

Kedua, boleh mencapur-adukkan qira’at Al-Qur’an secara mutlak, selama qira’at tersebut termasuk dalam qira’at mutawatirah.

Imam al-Jazari berkata: “Mayoritas ulama memperbolehkan untuk mencampuraduk qira’at secara mutlak, dan mereka menganggap ‘salah’ kepada yang melarang hal tersebut”. (al-Jazari, Al-Nasyar fi al-Qira’at al-Asyr/1/18).

Untuk memperkuat argumentasi, mereka menyatakan bahwa apabila suatu qira’at telah terbukti mutawatir dan shahih, maka larangan untuk membaca riwayat qira’at tersebut tidak memiliki landasan yang tepat. Sebab qira’at yang telah terbukti mutawatir dan shahih merupakan qira’at yang dibaca oleh sahabat di hadapan Nabi Saw,.

Ketiga, menggabungkan dua pendapat di atas secara terperinci; pertama, apabila salah satu qira’at tercampur dengan qira’at yang lain, maka hal tersebut tidak diperbolehkan atau haram. Seperti contoh pada surat al-Baqarah ayat 37.

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Dalam qira’at Imam Ibnu Katsir, lafadz (آدَم) dibaca Nashab (Fathah) dan lafadz (كَلِمَات) dibaca rafa’ (dhammah), sementara para Imam yang lain membaca lafadz (آدَم) dengan dhammah dan lafadz (كَلِمَات) dengan fathah.

Apabila seseorang membaca lafadz (آدَم) dengan dhammah (qira’at selain Imam Ibnu Katsir) kemudian pada lafadz (كَلِمَات) dengan dhammah (qira’at Ibnu Katsir), maka hal tersebut tidak diperbolehkan sebab kalimat yang tersusun menjadi tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

Kedua, Apabila talfiq dari jalur periwayatan atau mencampuradukkan antara beberapa riwayat qira’at, maka juga tidak dipereolehkan sebab hal tersebut mengingkari periwayatan dan merusak kredibilitas perawi, seperti contoh pada surat al-Baqarah ayat 3.

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Apabila seseorang membaca (يُؤْمِنُون) dengan mengganti wawu pada huruf hamzah (menggunakan riwayat Imam al-Susi) kemudian membaca (رَزَقْنَاهُمْ) dengan menggunakan silah mim jama’ (menggunakan riwayat Imam Qalun), maka ia telah mencampuradukkan dua riwayat qira’at, yakni riwayat Imam al-Susi dan Imam Qalun. Meskipun dalam pencampuran riwayat tersebut tidak merusak tatanan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an, namun secara nyata ia telah menginkari periwayatan dan merusak kredibilitas perawi.

Ketiga, apabila tidak dimaksudkan untuk mencampur-aduk qira’at dan riwayat tetapi digunakan untuk sekedar membaca, tilawah dan untuk pembelajaran, maka hal tersebut diperbolehkan meskipun menurut ulama qira’at termasuk hal yang tercela. Menurut Imam Nawawi, apabila seseorang memulai membaca Al-Qur’an dengan menggunakan salah satu dari Qira’at yang Tujuh, maka sebaiknya dia terus menggunakan qira’at tersebut selama maknanya masih berkaitan. Apabila hubungan maknanya terputus, maka ia boleh membaca dengan qira’at yang lain. Namun yang paling baik adalah tetap menggunakan satu qira’at saja selama dia masih dalam majelis yang sama. (Imam Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an: 76).

Lantas, bagaimana apabila dalam shalat seorang menggunakan ragam bacaan Al-Qur’an?

Sebagimana dijelaskan di atas, yaitu apabila mencampuradukkan dua qira’at dapat merusak tatanan bahasa dan makna, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Namun apabila ia membaca sebagian halaman Al-Qur’an dengan qira’at Imam Nafi’ dan separuh halaman lagi dengan qira’at Ibnu Katsir, maka hal tersebut dipebolehkan selama antara dua ayat yang terakhir dan yang awal tidak memiliki keterkaitan makna. Namun utamanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi yaitu tetap menggunakan satu qira’at saja selama masih dalam majelis/momen yang sama.

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih

Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/bolehkah-mencampuradukkan-qira-at-saat-baca-al-qur-an-ajqfl

Ilmu Qira’at dan Tajwid: Perbedaan dan Perbedaannya

Ilmu Qira’at dan Tajwid: Perbedaan dan Perbedaannya

Ada dua term dalam bacaan Al-Qur’an yang masih menjadi sorortan para pengaji ilmu Al-Qur’an, yaitu term tajwid dan ilmu qira’at. Di satu sisi, qira’at adalah sebuah term yang memiliki akses besar dalam kajian bacaan Al-Qur’an, bahkan tidak berlebihan jika ada adagium mengatakan bahwa seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan dalam bacaan Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu qira’at.

Sementara di sisi yang lain, ilmu tajwid merupakan term yang sangat penting dalam bacaan Al-Qur’an bahkan tidak berlebihan jika Imam al-Jazari mengatakan bahwa seorang yang membaca Al-Qur’an tanpa menggunakan ilmu tajwid, maka ia berdosa.   Imam al-Jazari berkata:

والأخذ بالتّجويد حتم لازم *** من لم يجوّد القرآن آثم

لأنّه به الإله أنزلا *** وهكذا منه إلينا وصلا

Artinya: “Menggunakan tajwid (dalam membaca Al-Qur’an) adalah keharusan. Barangsiapa yang tidak menggunakan tajwid dalam membaca Al-Qur’an maka ia berdosa.

Sesungguhnya Allah menurunkan Al-Qur’an dengan (memakai) tajwid, begitu pula bacaan itu hingga sampai kepada kita”.

Apakah keduanya berkelindan dalam satu masalah atau memiliki perbedaan yang mendasar?

Untuk itu, di sini akan dijelaskan perbedaan dan kesamaan keduanya agar dapat dipahami secara proporsional dan dipetakan secara tepat. Oleh karena itu, maka perlu kiranya memetakan difinisi keduanya dan fokus objek pembahasannya.

Qira’at adalah suatu ilmu yang membahas tentang cara baca dalam lafadz-lafadz Al-Qur’an, baik menyangkut perpindahan huruf maupun harakat, perubahan dialek seperti tahqiq, isymam, imalah, dan lain-lain dengan menisbatkan bacaan itu kepada penukilnya. Dalam hal ini al-Jazari mengatakan:

علم بكيفية أداء كلمات القرآن واختلافها بعزو الناقلة

Artinya: “ilmu yang mempelajari tentang tata cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan kepada penukilnya.”  

Selain itu, qira’at adalah sebuah bacaan yang memiliki jalur yang sah dan otentik yang bersambung kepada Nabi Muhammad, baik melalui periwayatan maupun penukilan. Bacaan ini bersumber dari Nabi secara langsung yang kemudian riwayatkan kepada generasi tabi’in oleh para sahabat hingga sampai kepada kita.

Dalam ilmu qira’at memiliki objek kajian yang terfokus dua aspek, yaitu: pertama, kajian yang menyangkut pada kalimat-kalimat Al-Qur’an yang bersifat komprehensif, seperti bacaan panjang, pendek, tashil, idgham, imalah, taqlil, dan lain-lainnya. Kajian ini dalam ilmu qira’at disebut “Usul al-Qira’at”.

Sedangkan yang kedua yaitu kajian yang terkait pada aspek kalimat-kalimat Al-Qur’an yang bersifat parsial, yaitu seperti membaca lafadz (مالك), al-Baqarah: 3. Pada lafadz ini Imam Asim dan Imam al-Kisa’i membaca panjang huruf mim, yang berarti pemilik. Sementara Imam-imam yang lainnya membaca pendek huruf mim yang berarti penguasa.   Dalam lafadz (مالك) ini hanya berlaku pada surat al-Baqarah saja meskipun pada surat-surat yang lain ditemukan lafadz-lafadz seperti di atas. Kajian yang kedua ini disebut dengan al-Furu’ atau al-Furusy.

Sementara pengertian tajwid dalam bahasanya berasal dari kata “jawwada”, yang memiliki arti memperindah atau memperbagus. Sedangkan secara istilah, para ulama memberikan pengertian tajwid sebagaimana berikut:

Imam al-Suyuthi mengungkapkan definisi tajwid sebagai berikut:

إِعْطَاءُ الْحُرُوفِ حُقُوقَهَا وَتَرْتِيبَهَا وَرَدُّ الْحَرْفِ إِلَى مَخْرَجِهِ وَأَصْلِهِ وَتَلْطِيفُ النُّطْقِ بِهِ عَلَى كَمَالِ هَيْئَتِهِ مِنْ غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا تَعَسُّفٍ وَلَا إِفْرَاطٍ وَلَا تَكَلُّفٍ.

“Tajwid adalah mengucapkan huruf sesuai hak-haknya dan tertibnya, dan mengembalikannya kepada makhraj dan asalnya, dan melembutkan bacaanya secara sempuran tanpa berlebih-lebihan, serampangan, tergesa-gesa dan dipaksakan”.

Sayyid al-Murshifi menjelaskan definisi tajwid sebagai berikut:

إخراج كل حرف من مخرجه وإعطاءه حقه ومستحقه من الصفات

Artinya: “mengucapkan setiap huruf-huruf dari makhrajnya dan memberikannya sesuai dengan hak-haknya dan hak-haknya yang baru timbul”.

Adapun yang dimaksud dengan “haqqul huruf” adalah sifat yang melekat dan tetap pada sebuah huruf, seperti jahr, shiddah, isti’la’, istifal, ithbâq, qalqalah, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan “mustahiqqul huruf” adalah sifat-sifat yang baru timbul sebab suatu keadaan, seperti tipis (tarqîq) tebal (tafkhîm) dan lain-lain.

Sementara objek pembahasan dalam ilmu tajwid lebih fokus pada ruang lingkup pengucapan sifat dan makhraj huruf dalam Al-Qur’an. Sementara pada qira’at lebih fokus pada pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an, baik perubahan huruf maupun harakat yang sifatnya melalui penukilan dari seorang perawi maupun imam secara mutawatir. Seperti misalnya dalam lafadz ( يحزنك ), dalam hal ini, tajwid lebih fokus pada pengucapan sifat dan makhraj huruf serta bacaan ikhfa’ yang meliputi kadar dengungnya, durasi dan tingkat tebal dan tipis dalam pengucapan ikhfa’nya. Sementara dalam qira’at lebih fokus pada sisi periwayatannya, apakah dalam lafadz itu, huruf ya’-nya dibaca dhammah dan huruf zay-nya dibaca kasrah atau huruf ya’-nya dibaca fathah dan huruf zay-nya dibaca dhammah.

Oleh sebab itu, dari pemetaan di atas dapat disimpulkan sebagaimana berikut:

  1. Kesamaan antara qira’at dan tajwid adalah keduanya sama-sama mengaji tentang Usuliyyat al-Qira’at, seperti idgham, idhhar hukum nun sukun dan tanwin, dan lain lain. Maka dari itu, tajwid adalah bagian dari qira’at.
  2. Perbedaannya sebagaimana berikut Qira’at mengaji tentang kalimat-kalimat Al-Qur’an yang bersifat parsial, perbedaan bacaan dan dialek kebahasaan. Sedangkan ilmu tajwid lebih menekankan pada aspek kalimat-kalimat Al-Qur’an dari sisi makhraj dan sifat-sifat huruf dan teknis memperindah bacaan.

Qira’at berpegang pada riwayat (rantai sanad) sedangkan tajwid berpedoman pada dirayat (disiplin ilmu).   Qira’at dari sisi fokus pada penukilan dan periwayatan, sementara tajwid fokus kemampuan seorang qari’ dalam menganalisis tingkat kadar suara huruf dan sifat-sifatnya, baik saat sendirian maupun saat menjadi susunan kata dengan kalimat lain.

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih

Sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/ilmu-qira-at-dan-tajwid-persamaan-dan-perbedaannya-gge8b

Share This