Istighosah Kubro Ke-9

Istighosah Kubro Ke-9

Rabu – Kamis (28-29/12), Yayasan Mabin An Nahdliyah Langitan mengadakan acara Khotmil Qur’an & Istighotsah Kubro Ke IX dengan tema “Do’a Santri untuk Negeri” bertempat di Masjid Nasional Al Akbar Surabaya. Kegiatan ini di mulai pada hari rabu pagi dengan pembacaan (Khataman) Al Qur’an bin Nadlhor oleh santri2 pilihan dari beberapa lembaga di bawah naungan Mabin Langitan.

Acara inti di laksanakan pada hari kamis pagi, Setelah MC Ust. H. Mufrodi Masyhadi memulai acara, Iftitah bil Fatihah kemudian diserahkan kepada KH. Abdullah Munif Marzuqi. Disusul dengan pembacaan Sholawat Ya Robbana oleh Ust. Khoirul Huda, Tampilan santri-santri berbakat dan di lanjutkan sambutan-sambutan.

Di mulai sambutan dari pengurus Mabin Pusat Tulungagung KH. Abdul Hakim Musthofa, di lanjutkan Sambutan KH. Ahmi Muhtarom & KH. Ahsan Ghozali MA.
Setelahnya, acara berlanjut Pembacaan Istighotsah sekaligus Mahallul Qiyam di pimpin KH. Abdullah Habib Faqih, kemudian mauidloh hasanah di sampaikan oleh KH.Marzuqqi Mustamar & sambutan terakhir oleh Gubernur Jatim, Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, M.Sos. dan terakhir doa penutup dibacakan KH. Miftachul Akhyar

Acara tersebut diikuti oleh kurang lebih 25.000 santri An Nahdliyah , para asatidz dan para pejabat tinggi daerah Surabaya & Jawa Timur.

Acara berjalan dengan khusyuk dan penuh khidmat.

Wisuda Ke-III PGTPQ An Nahdliyah Langitan

Wisuda Ke-III PGTPQ An Nahdliyah Langitan

Mabin An Nahdliyah Langitan melangsungkan wisuda Pendidikan Guru Taman Pendidikan Al- Qur’an (PGTPQ) ke III di gedung Graha Sandiya PT. Semen Gresik Tuban. Rabu, (22/6/22).

67 peserta wisuda yang terdiri dari 13 wisudawan dan 54 wisudawati yang merupakan tenaga pengajar atau calon pengajar di lembaga pendidikan agama islam tersebut, dianggap telah menguasai berbagai macam ilmu yang diajarkan di kelas PGTPQ sehingga layak mendapatkan predikat kelulusan. 

Ketua Mabin An Nahdliyah Langitan, Ustadz Syifaul Adha, menjelaskan, jika PGTPQ adalah progam unggulan  Mabin Langitan, Kabupaten Tuban, yang mempunyai misi mengantarkan mahasiswa – mahasiswinya menjadi Guru Al Qur’an yang profesional.

Ditempuh selama 6 semester atau 3 tahun, program ini dapat diikuti oleh semua guru atau calon guru TPQ/ Al Qur’an dengan syarat yang mudah, yakni sudah mempunyai Syahadah Diklat TPQ An Nahdliyah dan atau Lulus tes baca Al Qur’an. 

“Program PGTPQ An Nahdliyah ini ditempuh selama 6 semester dan bisa diikuti oleh guru maupun calon guru TPQ atau Al- Qur’an,” terangnya kepada Surabaya Pagi. 

Sebagai sarana penggemblengan dan pendalaman ilmu Al- Qur’an salah satunya, Syifaul Adha tentu berharap, program PGTPQ bisa mencetak wisudawan yang menguasai Ilmu baca Al Qur’an, mempunyai sanad Al Quran serta dapat menjadi Guru Al Qur’an yg profesional dan bisa menguasai psikologi Anak sekaligus psikologi pendidikan. 

“Kami tentu berharap, Output program PGTPQ ini mampu mencetak wisudawan yang berkualitas dibidang Al- Qur’an dan pendidikan,” imbuhnya. 

Di tempat yang sama, salah satu Wisudawati, Faridatum Maghfiroh yang berasal dari Baureno, Kabupaten Bojonegoro mengatakan rasa syukur dengan adanya program PGTPQ yang diselenggarakan oleh Mabin An Anahdliyah Langitan. 

Darinya, ia mengaku bisa belajar banyak tentang bagaimana tatacara mengajar TPQ dengan baik dan benar, ditambah adanya ilmu- ilmu lain yang dapat ia serap saat proses belajar berlangsung. 

“Alhamdulillah saya bersyukur bisa mengikuti PGTPQ. Saya bisa memperoleh ilmu yang banyak disini,” ujarnya.

Sebagai seorang pengajar di salah satu lembaga TPQ di Kabupaten Bojonegoro, dengan tegas ia menyatakan akan menerapkan semua ilmu yang didapat saat belajar di PGTPQ An Nahdliyah Langitan. 

Sebab menurutnya, banyak khazanah baru baik itu metode maupun keilmuan  yang harus disampaikan kepada anak didiknya (santri) di lembaga tempat ia mengabdi tersebut. 

 

Kasih Sayang Kepada Sesama Makhluk

Kasih Sayang Kepada Sesama Makhluk

Dari Abdullah bin Umar Ra. Ia berkata, “ Rasulullah Saw. bersabada

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَانُ، اِرْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Orang-orang yang suka menyayang, mereka itu akan dikasihani oleh Yang Maha Pengasih. Kasihanilah siapa yang berada di bumi, niscaya kamu akan dikasihani oleh yang berada di langit.”

Perihal yang sesuai dengan Hadis ini ialah hikayat yang diriwayatkan Umar Ra. bahwa ia sedang berjalan di Madinah, lalu melihat seorang anak memegang seekor burung kecil sambil mempermainkannya. Umar kasihan kepada burung itu lalu dibelinya kemudian dilepaskannya.

Tatkala Umar Ra. meninggal dunia, banyak orang melihatnya dalam mimpi dan menanyakan keadaannya dalam itu, “Apakah yang dilakukan Allah padamu?” Umar menjawab.”Allah mengampuni dan memaafkan aku.”

Orang-orang itu bertanya,” dengan apa engkau mendapatkan ampunan itu, apakah dengan keadilan atau dengan kezuhudanmu?” Umar menjawab. “tatkala kalian masukan aku di dalam kubur dan menutupiku dengan tanah, kalian tinggalkan aku sendirian. Kemudian datang dua malaikat yang menakutkan, sehingga hilang akal dan gemetar persendianku lantaran kewibawaan mereka. Keduanya memegang, mendudukan dan ingin menanyaiku. Ku-dengar dari suara gaib “Tinggalkan hamba-ku dan jangan menakutkanya, Aku telah mengasihani dan memaafkannya sebab ia mengasihi burung ketika di dunia sehingga Aku mengasihi di akhirat.”

Cerita lain, adalah seorang ahli ibadat dari bani israil lewat di suatu gundukan tanah. Saat itu bani israil ditimpa kelaparan. Ia bercita-cita dalam hati, seandainya tanah itu berbah menjadi tepung, niscaya bisa mengenyangkan perut bani israil. Kemudian Allah mewahyukan kepada salah seorang nabi mereka (Bani Israil), “katakanlah kepada si fulan, bahwa Allah Swt. telah memberikan pahala bagimu seperti andaikata tanah itu berubah menjadi tepung lalu engkau bersedekah dengannya.”

Barangsiapa mengasihi hamba-hamba Allah, niscaya Allah Swt. mengasihinya, karena hamba-hamba itu tatkala mengasihi hamba-hamba Allah dengan perkataannya:”Andaikata tanah itu berubah menjadi tepung niscaya bisa mengenyangkan orang-orang, maka ia pun akan mendapatkan pahala sebagaimana apabila dilakukannya.”

Mengejar gelar hafidz

Mengejar gelar hafidz

Kesalahan pertama yang paling fatal bagi seorang penghafal al Qur’an adalah terkait niat dan ke ikhlasan. Jika niatnya dalam menghafal alQur’an salah serta keikhlasannya benar-benar tidak ada, sebesar dan sebanyak apapun keutamaan menghafal al Qur’an menjadi sesuatu yang tak bernilai baginya di akhirat. Salah satu bentuk ketidak ikhlasan seorang penghafal al Qur’an adalah ia hanya mengharap pujian dari orang lain, berharap orang lain menghormati dan menyanjungnya, atau menyebut-nyebut dengan gelar hafidz al Qur’an.

Hal yang pertama yang harus diperhatikan oleh seseorang sebelum menghafal al-Qir’an adalah mengikhlaskan niatnya semata-ata karena Allah Swt. Al Qurthubi (w. 671 H) di dalam tafsirnya Al Jami’ li Akam Al Qur’an menyatakan, yang artinya:

“Hal pertama yang harus diperhatikan oleh shahibul Qur’an adalah mengikhlaskan niat dalam mempelajari Al-Qur’an, yaitu samata-mata karena Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana telah kami sebutkan. Dan hendaknya ia mencurahkan jiwanya untuk membaca dalam sholat maupun di luar sholat, agar ia tidak lupa”.

Jika kita menghafal al-Qur’an karena ingin dipuji-puji oleh manusia, sebenarnya kita sedang beramal dengan amalan yang besar tetapi tidak memiliki pahala apa-apa dihadapan Allah swt. bahkan, hal itu membuat kita berdosa serta terancam siksa-Nya. Imam An Nawawi (w. 676 H.)- di dalam al Minhaj syarh Shahih Muslim Ibnu Al-Hajjaj menyatakan “Amalan seseorang yang hanya menginginkan pujian dari yang lain adalah amalan yang batil, tidak berpahala bahkan akan mendapatkan dosa”.

Sekalipun menghafal al-Qur’an adalah amalan yang mampu mengantarkan seseorang menuju surga-Nya, tapi jika tidak dibarengi dengan keikhlasakan niat semata-mata karena mengharap ridha Allah Swt., jangankan ia dapat masuk kedalam surga, bahkan mencium baunya saja tidak mampu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda Saw.pernah bersabda “Siapa menuntut yang semestinya ditujukan untuk mengharap keridhaan Allah, tetapi ia memperlajarinya hanya untuk meraih tujuan duniawi, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat” (Hr Abu Dawud no.3179)

Seseorang bisa-bisa saja merasa sudah ikhlas dalam menghafal Al-Qur’an. Namun, jika didalam hatinya masih ada harapan untuk dipuji-puji, atau masih tersimpan keinginan untuk dihormati karena Al-Qur’an yang sudah dihafalanya, sebenarnya keikhlasan tersebut terlah tersingkirkan oleh harapan dan keinginannya. Ibnal al-Qoyyuim al-Jauziyyah (w. 751 H) di dalam al Fawaid mengatakan “Iklas di dalam hati seseorang tidak mungkin menyatu dengan harapan akan pujian, sanjungan, dan keinginan terhadap apa yang dimiliki manusia, melainkan seperti air dengan api  yang tidak menyatu.”

Adapun seorang penghafal al-Qur’an, baik mengharapkan pujian dari orang lain maupun tidak, sebenarnya, pujian itu memang pantas didapatkan. Betapa tidak, amalan menghafal al-Qur’an adalah amalan yang istimewa, dan setiap mukmin pasti mengingingkannya. Namun, jika tujuannya hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia, ia hanya akan mendapakan pujian tersebut tanpa pahala dari Allah Swt.  berbeda jika tujuannya ikhlas, hanya karena Allah, selain berhak mendapatkan pujian dari makhluk-Nya, ia juga akan mendapatkan pujian sekaligus pahala kebaikan yang berlimpah dari Rabbnya.

Kita harus menjaga hati ketika banyka orang lain memuji karena amalan yang kita lakukan. Ibn ‘Ajibah (w. 1224 H.)- di dalam Iqazl al-Himam fi Syarh al-Hikam mengatakan, “Janganlah engkau tertipu dengan pujian orang lain yang menghampirimu. Sesungguhnya mereka yang memujimu tidaklah mengetahui dirimu kecuali yang nampak, sementara engkau sendiri yang mengetahui isi hatimu. Ada Ulama yang mengatakan “Siapa yang begitu senang dengan pujian manusia, maka setan akan merasuk kedalam hatinya”.

Mantan Hafidz, Kok Bisa?

Mantan Hafidz, Kok Bisa?

Mantan Hafizh, kok bisa? Ini adalh sebuah pertanyaan dari penulis yang harus anda jawan sebelum membaca buku ini. Jawabanya cukup Anda sampaikan di benak saja. Atau, jika memang perlu, silahkan ucapkan liwat bibir, tanpa perluh berpikir siapa yang akan mendengar dan memperdulikan jawaban anda. Mengapa begitu? Ya, karena memang jawabna dari pertanyaan tersebut memang untuk diri anda.

Akan tetapi, alangkah sebaik pertanyaan tersebut anda renungkan secara mendalam dahulu.

Kok bisa?

Ya bisa-bisa saja.

Mungkin itu adalh jawaban yang paling simpel. Namun, tahukah anda, bagi penulis, pertanyaan tersebut menjadikan penulis harus menjawab pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul dari jawaban yang penulis sampaikan sendiri, yaitu, timbul lagi pertanyaan yang nyaris sama, “kok bisa begitu?”.

Pertanyaan tersebut sebenarnya adalah pertanyaan karena rasa heran, aneh, ganjil, dan tidak habis pikir. Tepatnya kok bisa, sih, seseorang jadi mantan hafizh, emang hafalannya di kemanain? “ Gimana gak heran? Hafalan al-Qur’an itu kan nikmat yang luar biasa besar, kok bisa-bisanya jadi mantan? Apakah orang tersebut telah menemukan nikmat yang lebih indah dibanding al Qur’an? Apakah ia sudah menemukan sesuatu yang lebih mampu memberikan kebahagiaan dibanding al qur’an? Bisa jadi, sih! Tetapi itu mustahil!

Sebentar! Sebelum anda salah paham tentang “siapa” yang menulis maksud sebagai mantan hafizh, penulis tegaskan bahwa istilah tersebut selayaknya tidak pernah ada bagi orang yang menghafal al Qur’an. kita ingin al Qur’an yang kita baca, yang kita pelajari, dan kita hafal, tetap menjadi anugrah Allah Swt. yang selalu kita pelihara. Mudah-mudahan kita layak menyandang predikat ahlullah, keluarga Allah Swt. dan hamba pilihan-pilihan-Nya. Amiin

Lantas, dari mana kita tahu ada mantan hafidz sedangkan kita yakin tidak ada seorang pun yang mau ngaku sebagai mantan hafidz? Na’udzubillah, jika memang ada. Bahkan, justru yang ada adalah orang yang tidak pernah menghafal al-Qur’an tetapi mengaku-ngaku pernah menghafal al-Qur’an. Walaupun, ia hanya ngaku hafal satu atau dua juz. Atau, hafalannya malah Cuma satu atau dua surat, tetapinya ngakunya 20 juz. Astaghfirullah!!

Mantan hafidz tidak dapat diketahui hanya dari pengakuan lisan. Namun, bukankah bukti pengakuan tersebut tidak hanya diketahui dari lisan? Bukankh perbuatan pun dapat menjelaskan hal-hal yang tidak diungkapkan melalui lisannya? Berdasarkan hal-hal tersebutlah perlahan-lahan akan kita temukan jawabannya.

Seorang yang awalnya menghafal al-Qur’an tetapi kemudian tidak pernah mengulang dan menjaga hafalannya, tidak akan merasa kehilangan jika hafalan tersebut memang hilang. Selain itu, ia pun tidak ada niat mengembalikan semua ayat yang dulu pernah dihafal. Bahkan, bukan hanya niat, akhlaknya pun jauh dari nilai-nilai al-Qur’an. Apakah kita seperti itu? Kitakah yang dulu pernah menghafal al-Qur’an kemudian tidak pernah kita baca lagi hingga lupa? Ya, hafalan tersebut akhirnya jadi mantan, kan?

Coba kita ingat lagi! Ayat manakah yang pernah kita hafal dan kini sudah lupa? Mari kita baca lagi. Kita kembalikan ayat tersebut ke dalam hati dan ingatan. Jangan sampai kita jadikan mantan.

Mungkin kita pernah membaca atau mendengar cerita tentang seorang dari kalangan tabi’in, yaitu seorang mujahid yang juga hafal penghafal al-Qur’an. Sebab godaan wanita, ia rela melepas keimananya. Dan, tahukah kita apa yang terjadi dengan hafalanya? Ya, tidak tersisah dari hafalannya kecuali hanya dua ayat saja. Ini bukti bahwa manta hafidz tersebut benar-benar ada! Mudah-mudahan Allah Swt. memelihara kita. Amiin

Ketahuilah bahwa al-Qur’an yang kita hafal adalah harta yang paling berharga daripada dunia dan seisinya. Betapa tidak, ialah yang menjadi kemuliaan di dunia dan akhirat. Dengan al-Qur’an kita dapat memberikan mahkota kemuliaan di akhirat nanti kepada kedua orang tua. Dengan al-Qur’an kita akan menghadiahkan pakaian kehormatan kepada kudua orang tua pula. Dengan al-Qur’an kita dapat menaiki tangga kemuliaan di surga sesuai jumlah ayat yang kita hafal didunia. Masya Allah!

Sehingga, jawaban pertanyaan di awal tadi adalah “bisa-bisa saja”. Dan terkait pertanyaan “siapa”, jawabannya adalah diri kita sendiri. Dari mana kita tahu hal tersebut? Ya tentu, berdasarkan banyaknya ayat al-Qur’an yang kita hafalkan tetapi telah kita lupakan. Kita bukan hanya lupa, tetapi juga tidak ada semangat untuk mengembalikan hafalan tersebut. Sedikit ataupun banyak, hafalan tersebut adalah tanggung jawab kita. Jika setelah membaca buku ini kita masih bergeming untuk meraih kemabli hafalan yang terlupakan tersebut, mungkin memang benar, kita benar-benar mantan hafidz!

Penulis hanya ingin menekankan agar hafalan al-Qur’an yang pernah kita dapatkan tidak dilupakan begitu saja. Meskipun itu hanya beberapa ayat. Apalagi, jika yang sudah kita hafala adalah seluruhnya, Masya Allah, tentu sangat sayang jika dilupakan. Sebab, haflan tersebut adalah anugrah besar untuk kita.

Lupa adalah hal yang wajar. Setiap manusia pasti pernah lupa. Namun, hal utama adalah segala tingkah laku kita jangan samapi jauh dari al-Qur’an. Jangan sampai semangat kita menjaga hafalan menjadi kendur. Sebutan mantan hafidz tidak dilontarkan oleh orang lain. Namun, kitalah yang dapat menilai diri sendiri, pantas tidaknya disebut mantan hafidz.

Jika para orientalis Barat bersusah payah mempelajari al-Qur’an hanya untuk menghancurkan Islam, kita mengafal al-Qur’an untuk kemulian diri sendiri. Kemuliaan tersebut bukan hanya akan kita rasakn di dunia, tetapi juga di akhirat nanti. Semua hafalan yang kita miliki tidak akan sia-sia begitu saja. Maka, jangan patah semangat! Kita tidak akan pernah menjadi mantan hafidz selama terus berusaha menjaga ayat-ayat yang pernah kita hafal. Kita bukan hanya menjaga ayat-ayat-Nya, tetapi juga menjaga akhlak sebagai cerminan al-Qur’an yang kita hafal.

Al-Qur’an adalah nikmat terbesar yang harus kita syukuri. Dan, salah satu cara kita mensyukuri anugrah hafal al-Qur’an adalah dengan tetap menjaganya hingga akhir ayat. Tidak semua orang diberi kesempatan hafal al-Qur’an, loh. Allah Swt. yang memilih hamba-Nya untuk menjadi penghafal al-Qur’an. Maka selamat! Kita adalah salah satu dari hamba-hamba yang dipilih oleh Allah Swt.